Jumat, 18 Februari 2011

No Movies No Problem? it is for me!




Pemerintah kita yang masyaallah luar biasa edun extraordinary pinternya sekarang menghalangi kita bisa menikmati film-film impor dengan aksi dahsyat terbarunya : pajak bea masuk film bioskop.... akibatnya, orang-orang Hollywood itu jadi males masukin film-filmnya ke sini... padahal, dengan karcis buat nonton di bioskop itu, kita tidak Cuma bisa merasakan nikmatnya nonton dengan halal dan legal, tapi secara ga langsung juga ya nyumbang pajak yang ujung-ujungnya buat beli baju dan mobil Bapak-bapak itu juga kan?

Katanya sih, selain buat nambah pemasukan pajak, ya juga buat melindungi industri film dalam negeri.. maaf nih ya, bukan bermaksud meremehkan... tapi, berapa besar sih industri film dalam negeri kita? Pelakunya berapa banyak? Omsetnya berapa besar? Siap ga mereka memenuhi demand film bagus dalam jumlah besar?
Kenapa yang diproteksi itu bukan industri tekstil, misalnya? Yang jelas-jelas membuka lapangan kerja yang luar biasa besarnya? Banyak lho..pabrik tekstil yang bangkrut karena kalah bersaing harga dengan produk impor Cina.... Atau petani tebu dan kedelai gitu? Biar mereka tidak merana karena panennya busuk karena kalah murah sama bahan pangan impor?

Saya Cuma bicara sebagai penikmat film, utamanya film Hollywood, yang bakal segera kehilangan salah satu hobi dan sumber kesenangannya... Saya sih jujur aja, saya tidak suka film Indonesia... bukan karena jelek atau gimana gitu, tapi ya cerita dan genre filmnya memang tidak ada yang ‘masuk’ ke hati aja.. kecuali kalau dalam waktu dekat ada sineas Indonesia yang bisa bikin flm tentang bajaj yang bisa berubah jadi robot, atau perempuan bohay berbaju ketat yang bisa terbang... wait! Udah ada ding, itu..sinetron Supergirl Manohara yang jipak Spiderwoman...*ngetik sambil jeduk-jedukin kepala ke meja...*

Kebetulan belum lama ini saya baru baca buku Superfreakonomics, lanjutannya buku Freakonomics karangan Steven Levitt dan Stephen Dubner... buat yang belum baca, itu buku yang menjelaskan bahwa setiap tindakan manusia itu, seaneh dan setidak-nyambung apapun, sebenarnya selalu didasari motif ekonomi... manusia itu hanya akan melakukan sesuatu kalo ada untungnya buat dia, atau kalo manfaat yang didapat dari sebuah tindakan lebih besar atau minimal setara dengan usaha yang dikerahkan.

Salah satu yang dibahas dibuku itu, adalah tentang drug dealer, pengedar narkoba....

Kata si Levitt dan Dubner nih, selama ini kebijakan aparat dimanapun, khususnya Amerika, soal pemberantasan narkoba itu keliru.. yang diburu dan ditangkepin dengan giat adalah selalu para pengedar atau produsen. Akibat pengedar itu ditangkepin, maka narkoba di pasaran jadi langka..akibatnya harga narkoba melambung tinggi.. profit margin yang menggiurkan ini jelas menarik calon pengedar lain untuk ikutan terjun ke bisnis ini..meskipun risikonya masuk penjara, tokh paling Cuma berapa tahun saja, masih sebanding lah dengan duit yang bakal didapat karena konsumen narkoba kan memang ga ada habisnya dan bersedia membayar berapapun demi memuaskan sakawnya... thus, itulah kenapa susah sekali membasmi bisnis narkoba : pembeli tetap banyak, dan penjual juga malah tambah banyak meskipun sudah banyak yang ditangkepin...

Memang sih, pengguna narkoba juga bukan lantas bebas dari hukuman (kalo ketangkep) tapi kan pada umumnya pengguna narkoba dipersepsi masyarakat sebagai korban.. yang harus direhab, dibantu, dibimbing dan seterusnya lahhh.... thus, hukumannya juga ga sesadis yang dijatuhkan buat para pengedar. Apalagi kalo sang pengguna itu anak pejabat, ya santai aja lah mau nenggak apa juga...

Coba bayangkan kalo sekarang yang jadi sasaran utama polisi itu adalah pembeli dan pemakai narkoba... kalo proses beli narkoba itu dibikin susah dan berbahaya setengah mati dan konsekuensi hukumnya maha dahsyat, semua orang akan takut beli narkoba...akibatnya para pengedar juga kesusahan jual produknya sehingga terpaksa banting harga, lalu terjadi perang harga dan sukur2 akhirnya mereka saling bunuh karena persaingan dagang yang segitu ketatnya... voila! Bebaslah kita dari ancaman narkoba! Sekali lagi ya, ini bukan pemikiran saya, tapi kata si mister Levitt yang ekonom itu...

Dalam konteks impor film tadi, teori ini menurut saya sih berlaku juga.. sekarang, karena kita makin susah untuk nonton film impor dengan harga Nomat, sedangkan harga DVD original juga masih setara dengan nraktir belasan orang makan nasi bungkus standar warteg, ya terpaksalah kita beli DVD bajakan.. siapa yang untung? Ya produsen DVD bajakan kan? Pemerintah dapet apa? Kagak dapet apa-apa kecuali memperbesar peluang para pejabat masuk neraka karena makin banyak aja rakyatnya yang ngata-ngatain dan nyumpah-nyumpahin mereka...

Yang lebih gawat lagi, mogoknya produsen film Hollywood masukin filmnya ke Indonesia juga akan membuat produsen DVD bajakan makin makmur sentosa (seperti kata teori narkoba dari si Levitt di atas)... saya inget, awal tahun 2000an, waktu DVD bajakan masih langka (dan kualitasnya lebih bagus), harganya bisa sekitar 10-15 ribu kalo ga salah, atau malah lebih. Aparat juga dulu kayaknya lebih rajin bikin razia sehingga para penjual harus cerdik mengakali mereka.. misalnya aja, penjual DVD langganan saya selalu menyiapkan gantungan baju dan setumpuk tas di kiosnya... begitu ada razia, DVD langsung digusur, lalu diganti display tas dan baju seadanya... tapi... karena lalu demand DVD bajakan makin banyak dan pengawasan makin longgar, penjualpun makin menjamur.. akhirnya yang untung konsumen, harga DVD bajakan jadi murah meriah banget. 

Nah... kalo sekarang kita tidak punya sumber untuk mendapatkan film barat yang gress kecuali dari DVD bajakan, apa para produsen dan penjual DVD bajakan itu ga akan makin belagu? Harga dijamin bakal naek sampai pada titik kita kehilangan daya dan minat beli serta hasrat nonton film barat lagi.... terpaksalah saya nonton sinetron Cinta Cenat Cenut....

Selain memakmurkan produsen DVD bajakan, bayangin juga gimana nasib para pekerja bioskop? Kurir film? Tukang cetak poster dan baligo? Karyawan majalah film? remaja pria yang lagi pendekatan?! Ah.. memang The Dogol-Men itu ga pernah mikir panjang...

Dari dulu ya, saya punya pemikiran (sayangnya Cuma disimpen sendiri) sebaiknya semua produsen musik, film atau karya-karya lainnya yang gampang dibajak, mengobral aja harga produknya! Selain menguntungkan konsumen, mereka juga masih dapat pemasukan dari pajak, atau apapun lah pungutan lainnya...meskipun nilainya kecil, tapi yang penting kan dapat duit? Daripada karyanya dibajak dan tidak dapat apa-apa sama sekali?

Meskipun manusia itu sering serakah dan ogah rugi, tapi ternyata pada dasarnya ada setiap orang itu ada sense of altruism dalam dirinya...altruism itu kurang lebih artinya adalah bahwa manusia itu mau aja berkorban sedikit demi kemaslahatan sesamanya... buktinya sudah ada kok... Radiohead yang menjual albumnya secara online dan membebaskan pembeli untuk menentukan sendiri harga yang pantes buat albumnya itu..hasilnya? meskipun ada aja orang yang memilih download gratis, mayoritas ternyata engga tega nyolong karya Radiohead begitu saja...album itu rata-rata terjual dengan harga 4 pounds sebiji...

Kita juga mungkin bisa begitu..daripada harus nyolong film gratisan via internet atau beli DVD bajakan, mendingan keluar duit agak lebih tapi bisa nonton lebih nyaman plus ada perasaan tenang karena ikut nyumbang buat kemaslahatan negara... cieee...

Curiganya sih, kebijakan ini juga hasil konspirasi antara Pocong Ngesot, Setan Gerondong dan jurig-jurig lainnya yang minder sama kegantengan si vampir kemayu Robet Pattinson...

Yang pasti, sekarang saya lagi meratapi nasib karena entah bisa apa tidak nonton Transformers 3? Green Lantern? Tintin? Battle Los Angeles? Thor? Captain America? Atau film penutup serial Harry Potter?

Masa tiap mau nonton harus berangkat ke Singapur?!?!?!


1 komentar:

  1. ntar pajaknya dipake gayus buat nonton pilim di singapur / thailand... demm..

    BalasHapus