Jumat, 18 Februari 2011

No Movies No Problem? it is for me!




Pemerintah kita yang masyaallah luar biasa edun extraordinary pinternya sekarang menghalangi kita bisa menikmati film-film impor dengan aksi dahsyat terbarunya : pajak bea masuk film bioskop.... akibatnya, orang-orang Hollywood itu jadi males masukin film-filmnya ke sini... padahal, dengan karcis buat nonton di bioskop itu, kita tidak Cuma bisa merasakan nikmatnya nonton dengan halal dan legal, tapi secara ga langsung juga ya nyumbang pajak yang ujung-ujungnya buat beli baju dan mobil Bapak-bapak itu juga kan?

Katanya sih, selain buat nambah pemasukan pajak, ya juga buat melindungi industri film dalam negeri.. maaf nih ya, bukan bermaksud meremehkan... tapi, berapa besar sih industri film dalam negeri kita? Pelakunya berapa banyak? Omsetnya berapa besar? Siap ga mereka memenuhi demand film bagus dalam jumlah besar?
Kenapa yang diproteksi itu bukan industri tekstil, misalnya? Yang jelas-jelas membuka lapangan kerja yang luar biasa besarnya? Banyak lho..pabrik tekstil yang bangkrut karena kalah bersaing harga dengan produk impor Cina.... Atau petani tebu dan kedelai gitu? Biar mereka tidak merana karena panennya busuk karena kalah murah sama bahan pangan impor?

Saya Cuma bicara sebagai penikmat film, utamanya film Hollywood, yang bakal segera kehilangan salah satu hobi dan sumber kesenangannya... Saya sih jujur aja, saya tidak suka film Indonesia... bukan karena jelek atau gimana gitu, tapi ya cerita dan genre filmnya memang tidak ada yang ‘masuk’ ke hati aja.. kecuali kalau dalam waktu dekat ada sineas Indonesia yang bisa bikin flm tentang bajaj yang bisa berubah jadi robot, atau perempuan bohay berbaju ketat yang bisa terbang... wait! Udah ada ding, itu..sinetron Supergirl Manohara yang jipak Spiderwoman...*ngetik sambil jeduk-jedukin kepala ke meja...*

Kebetulan belum lama ini saya baru baca buku Superfreakonomics, lanjutannya buku Freakonomics karangan Steven Levitt dan Stephen Dubner... buat yang belum baca, itu buku yang menjelaskan bahwa setiap tindakan manusia itu, seaneh dan setidak-nyambung apapun, sebenarnya selalu didasari motif ekonomi... manusia itu hanya akan melakukan sesuatu kalo ada untungnya buat dia, atau kalo manfaat yang didapat dari sebuah tindakan lebih besar atau minimal setara dengan usaha yang dikerahkan.

Salah satu yang dibahas dibuku itu, adalah tentang drug dealer, pengedar narkoba....

Kata si Levitt dan Dubner nih, selama ini kebijakan aparat dimanapun, khususnya Amerika, soal pemberantasan narkoba itu keliru.. yang diburu dan ditangkepin dengan giat adalah selalu para pengedar atau produsen. Akibat pengedar itu ditangkepin, maka narkoba di pasaran jadi langka..akibatnya harga narkoba melambung tinggi.. profit margin yang menggiurkan ini jelas menarik calon pengedar lain untuk ikutan terjun ke bisnis ini..meskipun risikonya masuk penjara, tokh paling Cuma berapa tahun saja, masih sebanding lah dengan duit yang bakal didapat karena konsumen narkoba kan memang ga ada habisnya dan bersedia membayar berapapun demi memuaskan sakawnya... thus, itulah kenapa susah sekali membasmi bisnis narkoba : pembeli tetap banyak, dan penjual juga malah tambah banyak meskipun sudah banyak yang ditangkepin...

Memang sih, pengguna narkoba juga bukan lantas bebas dari hukuman (kalo ketangkep) tapi kan pada umumnya pengguna narkoba dipersepsi masyarakat sebagai korban.. yang harus direhab, dibantu, dibimbing dan seterusnya lahhh.... thus, hukumannya juga ga sesadis yang dijatuhkan buat para pengedar. Apalagi kalo sang pengguna itu anak pejabat, ya santai aja lah mau nenggak apa juga...

Coba bayangkan kalo sekarang yang jadi sasaran utama polisi itu adalah pembeli dan pemakai narkoba... kalo proses beli narkoba itu dibikin susah dan berbahaya setengah mati dan konsekuensi hukumnya maha dahsyat, semua orang akan takut beli narkoba...akibatnya para pengedar juga kesusahan jual produknya sehingga terpaksa banting harga, lalu terjadi perang harga dan sukur2 akhirnya mereka saling bunuh karena persaingan dagang yang segitu ketatnya... voila! Bebaslah kita dari ancaman narkoba! Sekali lagi ya, ini bukan pemikiran saya, tapi kata si mister Levitt yang ekonom itu...

Dalam konteks impor film tadi, teori ini menurut saya sih berlaku juga.. sekarang, karena kita makin susah untuk nonton film impor dengan harga Nomat, sedangkan harga DVD original juga masih setara dengan nraktir belasan orang makan nasi bungkus standar warteg, ya terpaksalah kita beli DVD bajakan.. siapa yang untung? Ya produsen DVD bajakan kan? Pemerintah dapet apa? Kagak dapet apa-apa kecuali memperbesar peluang para pejabat masuk neraka karena makin banyak aja rakyatnya yang ngata-ngatain dan nyumpah-nyumpahin mereka...

Yang lebih gawat lagi, mogoknya produsen film Hollywood masukin filmnya ke Indonesia juga akan membuat produsen DVD bajakan makin makmur sentosa (seperti kata teori narkoba dari si Levitt di atas)... saya inget, awal tahun 2000an, waktu DVD bajakan masih langka (dan kualitasnya lebih bagus), harganya bisa sekitar 10-15 ribu kalo ga salah, atau malah lebih. Aparat juga dulu kayaknya lebih rajin bikin razia sehingga para penjual harus cerdik mengakali mereka.. misalnya aja, penjual DVD langganan saya selalu menyiapkan gantungan baju dan setumpuk tas di kiosnya... begitu ada razia, DVD langsung digusur, lalu diganti display tas dan baju seadanya... tapi... karena lalu demand DVD bajakan makin banyak dan pengawasan makin longgar, penjualpun makin menjamur.. akhirnya yang untung konsumen, harga DVD bajakan jadi murah meriah banget. 

Nah... kalo sekarang kita tidak punya sumber untuk mendapatkan film barat yang gress kecuali dari DVD bajakan, apa para produsen dan penjual DVD bajakan itu ga akan makin belagu? Harga dijamin bakal naek sampai pada titik kita kehilangan daya dan minat beli serta hasrat nonton film barat lagi.... terpaksalah saya nonton sinetron Cinta Cenat Cenut....

Selain memakmurkan produsen DVD bajakan, bayangin juga gimana nasib para pekerja bioskop? Kurir film? Tukang cetak poster dan baligo? Karyawan majalah film? remaja pria yang lagi pendekatan?! Ah.. memang The Dogol-Men itu ga pernah mikir panjang...

Dari dulu ya, saya punya pemikiran (sayangnya Cuma disimpen sendiri) sebaiknya semua produsen musik, film atau karya-karya lainnya yang gampang dibajak, mengobral aja harga produknya! Selain menguntungkan konsumen, mereka juga masih dapat pemasukan dari pajak, atau apapun lah pungutan lainnya...meskipun nilainya kecil, tapi yang penting kan dapat duit? Daripada karyanya dibajak dan tidak dapat apa-apa sama sekali?

Meskipun manusia itu sering serakah dan ogah rugi, tapi ternyata pada dasarnya ada setiap orang itu ada sense of altruism dalam dirinya...altruism itu kurang lebih artinya adalah bahwa manusia itu mau aja berkorban sedikit demi kemaslahatan sesamanya... buktinya sudah ada kok... Radiohead yang menjual albumnya secara online dan membebaskan pembeli untuk menentukan sendiri harga yang pantes buat albumnya itu..hasilnya? meskipun ada aja orang yang memilih download gratis, mayoritas ternyata engga tega nyolong karya Radiohead begitu saja...album itu rata-rata terjual dengan harga 4 pounds sebiji...

Kita juga mungkin bisa begitu..daripada harus nyolong film gratisan via internet atau beli DVD bajakan, mendingan keluar duit agak lebih tapi bisa nonton lebih nyaman plus ada perasaan tenang karena ikut nyumbang buat kemaslahatan negara... cieee...

Curiganya sih, kebijakan ini juga hasil konspirasi antara Pocong Ngesot, Setan Gerondong dan jurig-jurig lainnya yang minder sama kegantengan si vampir kemayu Robet Pattinson...

Yang pasti, sekarang saya lagi meratapi nasib karena entah bisa apa tidak nonton Transformers 3? Green Lantern? Tintin? Battle Los Angeles? Thor? Captain America? Atau film penutup serial Harry Potter?

Masa tiap mau nonton harus berangkat ke Singapur?!?!?!


Kamis, 10 Februari 2011

Broken Window Theory

Have u ever stop and think, kenapa satu daerah lebih rawan kejahatan alias lebih nge-‘Bronx’ dibanding yg laen? Kenapa disatu daerah copet n rampoknya buanyak banget sementara tempat lain malah aman tenteram? Padahal itu daerah masih dalam satu kota dan letaknya ga terlalu berjauhan? Yah, katakanlah misalnya daerah Cicadas di Bandung…?
 Ada teori yang menarik, namanya‘The Broken Window Theory’. Teorinya saya dapet dari buku ‘The Tipping Point’ by Malcolm Gladwell (itu lho, yg ngarang buku ‘Blink’..ini buku dia sebelum Blink).
 Nah, menurut teori ini, kalau ada sebuah jendela pecah di sebuah gedung di sebuah lingkungan/neighborhood, dan dalam waktu lama jendela itu tidak kunjung diperbaiki, maka lambat laun orang-orang akan cenderung memecahkan lebih banyak lagi jendela. Kalau jendela-jendela pecah itu tidak kunjung diganti, orang akan semakin berbuat seenaknya di lingkungan tersebut. Kenapa? Karena jendela pecah itu merupakan tanda bahwa tidak ada orang yang peduli, artinya tidak ada authority, order atau keteraturan di daerah tersebut. Lama-lama jendela pecah itu merembet kemana-mana ; fasilitas umum dirusak, grafitti, vandalisme dimana-mana, sampai akhirnya pecahlah tingkat kriminalitas yang tinggi di neighborhood itu… hmmm sounds familiar, right?
 Teori yang dikemukakan George L Kelling itu sudah terbukti kebenarannya di New York circa 80an, dimana ketika itu angka kriminalitas di Big apple tercatat sebagai yg tertingi dalam sejarah. Kejahatan paling parah terutama terjadi di subway-subway…nah, inilah bedanya orang bule sama kita.. mereka mulai menganalisa dan ternyata, entah kebetulan atau enggak, tingkat kejahatan subway paling parah terjadi didalam kereta-kereta yg paling jelek kondisinya ; jendela pada pecah, banyak grafitti, etc…
Kebetulan, kepala polisi subway NY pernah baca tentang teori Broken Window ini (kalo polisi kita pernah baca ga ya?)… so, dia pun mempraktekkan teori ini dengan tegas. Semua kereta subway musti diperbaiki! Semua kaca diganti, grafiti harus dibersihin, telepon umum, mesin pencetak tiket, lampu, pokoknya semua fasilitas disubway musti dibagusin! Meskipun sempat dicela dan dikritik abis karena dianggap sinting (bayangin aja, yg jadi masalah di subway adalah preman, kok dia malah sibuk nge-cat?) si kepala polisi jalan terus…pokoknya, anak buahnya berdedikasi abis…begitu kereta yang udah dicat bersih tiba-tiba dicorat coret Pilox lagi, maka si kapten dan anak buahnya langsung ngecat ulang…begituuu terus sampe akhirnya para Vandal itu bosen juga…(bayangin, udah begadang semaleman bikin gambar keren pake pilox di tembok, pas pagi2-nya itu tembok udah putih lagi!).
 Jadilah subway NY itu mulai bersih, rapi dan ga kusem…Ajaib, meskipun tidak ada strategi atau kebijakan khusus buat nangkepin preman yg keluyuran di subway, tapi angka kejahatan di subway pelan2 berkurang, sampai akhirnya tahun 90an subway NY jadi salah satu yg teraman…
 Karena sukses di subway, walikota NY, Rudy Giuliani, menerapkan metode yg sama buat ngebersihin daerah2 rawan kejahatan di NY, termasuk daerah Bronx yg terkenal itu…and he succeeded!!!
 Nah..menurut para psikolog dan sosiolog…karena kondisi yg bersih, dan rapi itu, orang lama-lama jadi segan untuk ngerusak..kalo ngerusak jendela aja udah segan, apalagi bikin onar kan?
Contoh lain, kalo ada satu plastik bekas kripik yang kita biarin di trotoar, ga lama kemudian pasti ada juga yg berani ikut2an buang puntung rokok disitu.. kita biarin lagi, lama2 orang gak segan buang apapun disitu… wah, pokoknya i am really fascinated by this theory…simple, yet make a lot of sense…
Nah, menurut saya lagi..teori ini juga jadi relevan dengan kondisi sosial dan hukum di negara kita yang alhamdulillah ambura
dul ini... kenapa makin banyak orang beringas? Rusuh dan main hakim sendiri (se-RT lebih tepat kayaknya)?  Karena terbukti aparat dan pihak berwenang ga pernah berbuat apa-apa tiap ada aksi-aksi kekerasan..lama-lama orang akan berpikir,
“lah, enak banget ya..ngegebukin orang sampe mati kagak ada yang nangkep?! Ya udah, laen kali kalo ada yang macem-macem sama kita, ya kita gebukin aja juga... kita ga bakal dipenjara tokh?!”

Entah siapa yang salah, tapi seperti kata teori Broken Window ini, kalo ada sesuatu yang ‘rusak’ dan tidak terlihat ada siapapun yang berusaha memperbaikinya..selanjutnya chaos-lah yang akan terjadi.... hiiii sereeemmm...



Rahasia Orang Sukses...

Jangan salah ya, ini bukan buku self-help, atau buku yang lantas menginspirasi kita untuk jadi orang sukses. Buku Outliers karya Malcolm gladwell ini simply explains bahwa untuk jadi orang sukses, bakat dan kerja keras sangat ngga cukup... harus ada kesempatan, timing, dan sets of conditions yang memang memungkinkan kita untuk sukses besar di sebuah bidang a la The Beatles atau Bill Gates.

Seperti juga di Tipping Point atau Blink, si Gladwell ini mengungkapkan sejumlah fakta dan contoh kasus yang menarik (meskipun gak jelas juga manfaatnya sih...hehehe). seperti misalnya, anak-anak yang lahir di bulan Januari-Juni lebih diuntungkan ketimbang teman-temannya yang lahir di paruh semester kedua khususnya dalam soal pendidikan dan rekruitmen atlet-atlet junior.

Gladwell juga cerita banyak tentang rahasia sukses The Beatles dan Bill Gates. Jelas mereka memang berbakat dan pekerja keras, tapi ada sejumlah fakta yang jarang diungkap, yang memungkinkan mereka untuk bisa jadi sukses.

Bill Gates, misalnya, sekolah di SMP elit yang di akhir 60an adalah satu-satunya sekolah yang mampu menyediakan komputer buat siswanya. Ketika ABG lain masih suka kelayapan gak jelas, Bill Gates menghabiskan waktunya untuk ’ngulik’ bahasa pemrograman di sekolahnya itu, di luar jam sekolah. Thus, ketika ada booming komputer di tahun 70-an, Bill udah lebih siap (karena curi start) ketimbang orang lain yang justru baru mulai belajar komputer. Seandainya si Bill itu gak sekolah di situ, belum tentu dia bisa punya skill untuk bikin macem2 program kan?

Maksudnya si Gladwell ini gak mencoba meng-undermine kehebatan orang-orang kayak Bill Gates, tapi ya itu tadi, kalo gak ada kondisi-kondisi yang mendukung, gak mungkin si Bill bisa sukses. Pun dengan The Beatles... kenapa mereka bisa hebat? Salah satunya adalah karena ketika mereka dapat kesempatan manggung di klub-klub di Hamburg, Jerman, mereka harus main sampai 8 jam setiap hari! Thus, karena bosan, The Beatles ’terpaksa’ mengulik cara-cara main musik yang baru dan bikin lagu-lagu sendiri. Jadi, seandainya The Beatles gak main di klub itu, belum tentu pula mereka bisa bikin musik sedemikian dahsyat.

Gladwell punya teori bahwa untuk bisa jadi sukses, seseorang (khususnya atlet dan musisi) setidaknya harus punya jam latihan 10 ribu jam. Berapa waktu yang dihabiskan The Beatles bertahun-tahun maen band di Hamburg dan Bill Gates di depan komputer sebelum dia bikin Microsoft? 10 ribu jam! Pasalnya, tidak semua orang bisa punya waktu, fasilitas dan kesempatan untuk bisa berlatih sebanyak itu... Bill Gates dan The Beatles adalah sedikit yang beruntung.

Contoh kasus yang cukup menarik adalah soal orang ter-jenius di dunia, Chris Langan. Dari sisi IQ, si Chris ini jauh lebih pinter daripada Einstein, dan udah terbukti bahwa dia memang mampu menyelesaikan problem-problem fisika dan matematika yang paling rumit, meskipun gak punya latar pendidikan yang layak. But how come he’s not succesful? Simply karena ibunya yang miskin dan pemabuk, lupa mengisi ulang form aplikasi beasiswa buat sang anak... thus, Chris pun gagal masuk sekolah favorit dan harus berhadapan dengan guru-guru yang payah..so, saat dewasa pun dia Cuma jadi bodyguard di diskotik. Karya-karya tulisnya gak ada yang mau muat karena, meskipun isinya bagus, Chris gak punya background yang kredibel untuk diterima di kalangan science... Beda banget dengan Oppenheimer, orang jenius yang akhirnya jadi pemimpin proyek bom atom (Project Manhattan), sejak kecil udah bermasalah dengan kelakuannya, bahkan pas kuliah sempet mau membunuh dosennya. Lantaran bapak-ibunya orang berpengaruh, dia tetep dapet kesempatan sekolah dan tentunya terus jadi orang yang berperan penting dalam sejarah. Chris Langan? Sekarang lagi menghabiskan hari tua ngurus kebon dan ternaknya...

Gladwell menekankan bahwa orang kaya dan berpengaruh memang akhirnya punya kesempatan lebih besar untuk sukses karena mereka lebih bisa menciptakan kesempatan dan lingkungan yang kondusif untuk mendukung kesuksesan itu, meskipun bukan berarti yang miskin ga punya peluang...(di bab lain, Gladwell juga cerita tentang orang tuanya sendiri yang dari keluarga miskin keturunan budak, tapi lantaran serangkaian kebetulan dan keberuntungan, akhirnya jadi sukses).

Adapula teori bahwa tahun kelahiran seseorang sangat berpengaruh terhadap peluang sukses. Ngga ada hubungannya dengan shio atau astrologi, tapi simply masalah timing saja. Misalnya saja, dalam daftar orang terkaya Amerika sepanjang sejarah (Rockefeller dkk), mayoritas ternyata lahir tahun 1830-an. Kenapa? Karena pada tahun 1860-an, Amerika lagi giat-giatnya membangun ; banyak rel kereta dibangun, demam minyak, emas, dsb dsb..thus, ketika mereka yang lahir 1830an itu dewasa, mereka dihadapkan pada banyak sekali kesempatan besar untuk sukses. Kalo anda lahir 5 tahun lebih awal? Anda gak bakal kebagian karena pembangunan itu belum mulai, begitupun kalau anda lahir terlambat 5 tahun, anda gak kebagian karena jatahnya sudah diambil yang lain...

Buku ini juga membahas rahasia sukses orang Yahudi di Amerika, khususnya para lawyer dan pengusaha tekstil. Pada awal abad 20, banyak imigran Yahudi dari Eropa Timur yang datang ke Amerika. Meskipun awalnya sengsara, mereka pada kreatif. Mayoritas mulai membuka bisnis dibidang pakaian, jahitan, dsb...karena gak banyak saingan, mereka akhirnya bisa kaya raya dan menyekolahkan anaknya jadi lawyer atau dokter. Para lawyer Yahudi inipun, setelah lulus, sering ditolak oleh firma-firma hukum besar. Alasannya macam-macam, karena faktor etnis, penampilan, keturunan, dsb-lah... thus, lawyer Yahudi ini, di tahun 50an, terpaksa menggarap klien-klien yang ketika itu dianggap ngga keren dan ngga menghasilkan, yaitu kerjaan litigasi dan corporate take over... eeehh ternyata, di tahun 70an, buanyaak banget perusahaan besar yang kena kasus hukum, dan banyak pula perusahaan besar yang mencaplok perusahaan-perusahaan kecil. Akhirnya banyak lawfirm yang ’hijrah’ ke bidang litigasi dan take-over, tapi tentunya mereka semua terlambat... para lawyer Yahudi udah terlanjur jadi ahli dibidang itu dan thus, begitulah kisah sukses orang Yahudi di Amerika.

Ada bab yang cukup menarik juga, yaitu pengaruh faktor etnis terhadap kecelakaan pesawat terbang. Ada data statistik yang menunjukan bahwa mayoritas kecelakaan pesawat, terjadi di maskapai Asia dan Amerika Selatan. Kenapa? Karena di etnis Asia dan Amriksel (halah...), masih berlaku feodalisme..atasan gak berani negor bawahan, sehingga ketika sang pilot melakukan kesalahan, kopilot dan kru lainnya, gak berani mengingatkan. Padahal, tugas ko-pilot adalah mengambilalih komando ketika pilotnya bikin kesalahan. Di Eropa dan Amerika, hal ini gak terjadi karena mereka terbukti lebih berani meng-confront atasannya... tapi orang Asia gak perlu bete, karena ada bab yang membahas bahwa orang Asia terbukti lebih jago matematika daripada etnis lainnya di dunia...

Inti dari buku ini sih, untuk jadi sukses, selain bakat dan kerja keras, seseorang harus bisa menemukan kesempatan, timing dan serangkaian kondisi yang mengarahkan mereka kepada ’window of opportunity’ yang munculnya sangat terbatas... gitulah...

Mungkin saya udah terpengaruh terlanjur nge-fans sama si Gladwell, jadi buku ini menurut saya bagus sekali. Kalaupun ada kekurangan, banyak cerita atau paparan yang terlalu ngalor ngidul Cuma untuk menjelaskan sesuatu yang sederhana. Kadang kita kayak bingung ; ”ini sebenernya mau ngomong apa sih?!”. buat saya sendiri, apa yang dibahas Gladwell sangat menarik meskipun Cuma untuk sekedar nambah wawasan. On some level, buku ini kayaknya malah ada kemiripan dengan buku ’Black Swan’.

But overall, i think Outliers is a recommended reading...

Corporate Social Responsibility by Philip Kotler

note: review ini dibuat tahun 2007

Phillip Kotler memilih mendefinisikan CSR sebagai berikut :

”CSR adalah komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas melalui praktek bisnis yang terbuka dan kontribusi sumber daya korporat”

Kesejahteraan atau well-being disini juga mencakup isyu-isyu lingkungan.

Dalam beberapa tahun terakhir, data-data yang ada menunjukan adanya tren peningkatan kontribusi perusahaan untuk kegiatan-kegiatan sosial. Bukan Cuma itu, jumlah laporan (termasuk pers rilis, dll) juga meningkat secara signifikan. Kegiatan CSR pun sudah mulai menjadi mainstream di dunia usaha dimana makin banyak perusahaan yang memiliki kesadaran sosial yang tinggi dan kesadaran untuk melakukan hal-hal baik bagi masyarakat. Disamping itu, banyak perusahaan menganggap CSR bukan lagi sebuah kewajiban tapi merupakan bagian dari strategi perusahaan.

Pendekatan tradisional CSR yang masih banyak dipraktekkan antara lain menganggap CSR sebagai sebuah kewajiban. Sifat-sifat praktek tradisional ini antara lain ; pola penyebaran kontribusi masih bersifat ’bagi rata’. Artinya, yang penting bahwa perusahaan sudah membagi dana dalam jumlah besar dan dana itu dibagi rata kepada sebanyak mungkin organisasi/penerima sumbangan. Meskipun itu berarti tiap penerima sumbangan Cuma menerima bagian sedikit-sedikit saja.

Perusahaan juga enggan membuat komitmen jangka panjang. Kontribusi dibuat jangka pendek atau ’sekali tembak’ saja. Perusahaan juga cenderung menjauhi isyu-isyu yang kontroversial, seperti masalah AIDS dsb. Bagi mereka, yang penting sudah ’nyumbang’ ya sudah cukup. Prinsipnya ’to do good as easily as possible’ dan ‘doing good to look good’.




Pendekatan Baru ; Menunjang Tujuan Korporat
Prinsip pelaksanaan CSR yang baru adalah ‘doing well and doing good’. Pendekatan baru ini memandang CSR sebagai bagian strategi korporat dimana bila diaplikasikan dengan tepat dapat menunjang isyu-isyu yang didukung perusahaan thus memberi dampak positif untuk bisnis secara keseluruhan.

Tren yang berkembang sekarang, perusahaan cenderung berani memilih isyu-isyu sosial untuk mereka dukung terutama yang terkait dengan bisnis perusahaan dan membuka kesempatan baru untuk memperluas market.

Kenapa Harus Melakukan Kebaikan?
Menurut Kottler, ada sejumlah manfaat yang diperoleh dengan melakukan hal-hal baik :
- meningkatkan penjualan dan market share
- memperkuat brand positioning
- meningkatkan image perusahaan
- meningkatkan kemampuan menarik, memotivasi dan mempertahankan karyawan
- mengurangi biaya operasional
- meningkatkan daya tarik terhadap investor dan analis keuangan

Tantangan Melakukan CSR
Tantangan atau bagian tersulit untuk memulai kegiatan CSR pertama adalah memilih isyu sosial yang akan didukung. Ada beberapa pertimbangan untuk memiliki isyu sosial tersebut, antara lain ;
- bagaimana isyu ini mendukung tujuan bisnis?
- Seberapa besar problem sosial tersebut?
- Apakah sudah ditangani oleh pemerintah?
- Kira-kira apa anggapan stakeholder jika kita menangani isyu ini?
- Apakah bisa membuat karyawan tertarik?
- Apakah nanti akan memancing banyak pihak untuk meminta sumbangan?
- Akankah isyu ini malah berbalik merugikan kita?
- Apakah sudah dilakukan oleh kompetitor?

Setelah itu, hal yang dilakukan adalah memilih lembaga yang akan melaksanakan program kita, dilanjutkan dengan pengembangan dan implementasi program serta evaluasi.

Corporate Social Initiatives
Inti dari buku ini sebenarnya Cuma tentang 6 hal. 6 hal ini adalah langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk mencapai tujuan CSR, yaitu :
1. Cause Promotions
2. Cause-Related Marketing
3. Corporate Social Marketing
4. Corporate Philanthropy
5. Community Volunteering
6. Socially Responsible Business Practices

1. Cause Promotions
Terjemahan bebasnya kurang lebih ’Promosi Isyu’. Yaitu mendukung suatu isu atau masalah sosial tertentu melalui kegiatan promosi dan sponsorship. Perusahaan menyediakan sejumlah dana atau kontribusi lainnya atau menggelar sebuah kegiatan dengan tujuan membantu meningkatkan awareness masyarakat terhadap suatu isyu sosial tertentu.
Contoh kasus terbaik untuk hal ini mungkin adalah Body Shop. Melalui produknya dan promotion/marketing kit-nya, mereka tak henti-hentinya menghimbau masyarakat untuk menentang tes obat dan kosmetik terhadap binatang, menjaga kelestarian alam dan isyu lingkungan lainnya. Hasilnya, Body Shop memiliki reputasi yang sangat baik di mata konsumen dan turut mempengaruhi tingginya angka penjualan (meskipun di Indonesia orang beli Body Shop karena gengsinya, bukan karena isu ‘against animal testing’-nya).

2. Cause-Related Marketing
Maksud dan tujuannya kurang lebih sama dengan di atas, tapi dikaitkan dengan kegiatan penjualan. Cause-Related marketing berarti mendonasikan sejumlah persentase hasil penjualan untuk kegiatan sosial tertentu. Pola ini memberikan kesempatan kepada konsumen untuk turut memberikan kontribusi sosial melalui produk yang dibelinya. Misalnya, jika anda membeli produk A, maka sekian persennya akan otomatis disumbangkan untuk Yayasan B. Mungkin contoh paling gress yang ada di Indonesia adalah program air mineral Aqua. Dimana setiap membeli seliter Aqua akan digunakan untuk menghasilkan 10 liter air bersih buat warga yang kekeringan di NTT (atau NTB?) sana.

3. Corporate Social Marketing
Perusahaan mendukung upaya pengembangan dan/atau implementasi kampanye perubahan perilaku untuk meningkatkan kondisi kesehatan, keselamatan, lingkungan, ataupun kesejahteraan masayarakat. Perbedaan dengan kedua hal di atas, kegiatan ini sangat terfokus pada perubahan perilaku. Misalnya, produk popok sekali pakai ’Pampers’ yang melalui kemasannya mengkampanyekan tips-tips mencegah terjadinya SIDS (Sudden Infant Death Syndrome), atau kalau di Indonesia mungkin sabun Lifebuoy yang selalu mengajak kita untuk cuci tangan.

4. Corporate Philanthropy
Donasi atau kontribusi atau kegiatan amal yang dilakukan perusahaan. Ini mungkin bentuk paling tradisional dari kegiatan CSR.

5. Community Volunteering
Perusahaan mendukung dan mendorong karyawan dan stakeholdernya untuk menjadi relawan dalam kegiatan-kegiatan sosial maupun kegiatan CSR perusahaan. Contoh, misalnya karyawan bergiliran menjadi guru tamu di sekolah-sekolah lokal, karyawan dan pelanggan bekerja bakti membersihkan taman kota, dan banyak contoh lainnya

6. Socially Responsible Business Practices
Perusahaan sudah mengadopsi dan mengimplementasikan praktek bisnis dan investasi yang menunjang upaya peningkatan kesejateraan dan pelestarian lingkungan melebihi ketentuan yang telah ditetapkan. Ini mungkin sudah merupakan tahap tertinggi dari kegiatan CSR, dimana semua lini kegiatan perusahaan memang memiliki nilai lebih yang bermanfaat bagi orang banyak. Sebagai contoh, produk Kraft yang menghentikan penjualan beberapa produknya di sekolah-sekolah di Amerika karena mereka memandang produk itu kurang sehat buat anak-anak atau McDonald yang menghentikan penjualan French Fries ukuran besar karena alasan yang sama.



101 most influential people who never lived



Category:
Books
Genre:
Nonfiction
Author:
Allan Lazar, Dan Karlan, Jeremy Salter


Disadari atau tidak, kehidupan kita selalu dipenuhi dengan kisah-kisah fiksi, kita terilhami oleh tokoh dan karakter yang ternyata cuma fiksi, hasil rekaan penulis, artis, seniman yang ternyata sangat mengena di hati sehingga kita terinspirasi oleh hasil rekaan tersebut.

Buku “101 most influential people who never lived” (tekankan pada kata ‘NEVER LIVED”) ini mencoba menampilkan tokoh-tokoh fiksi yang berpengaruh besar dalam kehidupan manusia. Tokoh-tokohnya dibagi beberapa kategori ; mitologi, film, legenda, cerita rakyat, monster, stereotype, petualang, iklan dan propaganda, televisi, karya sastra, teater, sampai komik dan karakter animasi.

Disadari atau tidak, karakter fiksi yang kita saksikan setiap hari bukan Cuma menghibur, tapi menginspirasi kita dalam menjalankan kehidupan. Dampaknya bisa negatif, dan bisa pula positif. Nah... buku ”101..” ini mencoba mengangkat tokoh-tokoh tersebut dengan cara yang santai, lucu, kadang seperti bercanda, padahal isinya cukup serius. Sejak awal para penulisnya sudah bilang bahwa daftar yang mereka sajikan ini pasti mengundang kontroversi, karena tentunya ada yang setuju atau tidak, apalagi mereka ini orang Amerika, jadinya tokoh yang ditampilkan pun beberapa diantaranya mungkin kurang familiar bagi kita yang bukan warga sono...

Cara penyampaian yang lucu membuat kita tidak bosan membaca buku yang sebenarnya tidak jauh beda dengan ensiklopedi atau buku pintar. Simak saat penulis mengisahkan tentang Icarus, bocah yang tewas karena terbang terlalu dekat ke matahari.. ”..He is a prime example of the consequences of not following instruction and although he was the inspiration for the Wright Brothers, he was foolish enough to exceed the manufacturer’s limitiation on altitude, and thus his wings failed. What even worse, he had neglected to purchase flight insurance”… seandainya tidak ada Icarus, mungkin sekarang tidak ada yang namanya asuransi penerbangan… hehehe.

Mayoritas tokoh yang dibeberkan pasti kita kenal. Ada Santa Claus, Barbie, Dracula, King Kong, Superman sampai Saint Valentine. Yang bagus adalah cara penulis menghubungkan pentingnya si karakter dan pengaruhnya terhadap kehidupan kita. Barbie misalnya, dianggap merusak image para gadis kecil tentang sosok wanita yang ideal : kurus, tinggi, langsing, berdada (maaf) besar, dan berpakaian mahal. Barbie juga dianggap mendorong tingkat bulimia pada anak-anak dan remaja.

Adapula Uncle Sam, yang sosoknya menjadi pembangkit semangat tentara Amerika di jaman perang revolusi. Dan tahukah anda? Ternyata nama Uncle Sam berasal dari nama tukang daging pemasok makanan tentara Amerika, Sam Wilson. Disetiap peti daging kirimannya tertulis : Uncle Sam.

Yang cukup mengejutkan mungkin adalah sosok yang dipilih sebagai nomer satu dalam daftar karakter paling berpengaruh ini. Yaitu The Marlboro Man. Marlboro Man adalah karakter yang diciptakan produk rokok tersebut untuk memasarkan produknya, yaitu koboi nan macho, jago berkuda dan suka berkelana di dataran Amerika yang indah. Karakter ini tentunya dipandang sebagai pembunuh nomer satu di dunia dan turut berperan meningkatkan jumlah penderita kanker di dunia. Dan mau tau nasib bintang-bintang iklan Marlboro? Semuanya meninggal karena kanker...

Buat saya pribadi buku ini sangat menarik karena memberi kesempatan mempelajari karakter-karakter fiksi yang ada disekitar kita, apalagi saya suka komik dan mitologi. Stamina kita mungkin kurang cukup untuk membaca buku pintar atau ensiklopedi, tapi buku ini disajikan begitu ringannya sehingga bikin saya senyum sendiri sambil tanpa sadar menyerap banyak informasi berharga.

Selasa, 01 Februari 2011

Petualangan Dari Perpustakaan




Title:
Category:


The Historian
Books
Genre:
Horror
Author:
Elizabeth Kostova


note: resensi ini dibuat tahun 2007...

Orang bijak bilang bahwa ’Buku Adalah Jendela Dunia’, nah... buku The Historian ini adalah salah satu bukti nyata betapa dari buku (dan perpustakaan, sebagai gudangnya buku) kita bisa memecahkan banyak persoalan, dan bisa menjelajah ruang dan waktu.

The Historian berkisah tentang pencarian makam Vlad Tepes alias Dracula. Petualangan pencarian makam ini terentang dalam tiga kurun waktu ; 1930an, 1950an dan 1970an, setiap rentang waktu dilakoni oleh tokoh-tokoh yang berbeda pula.

Ceritanya sendiri berkisah tentang Vlad Tepes, penguasa Wallachia di Rumania (ternyata banyak orang salah kaprah, Drakula berasal dari Wallachia, bukan Transylvania apalagi Tasikmalaya). Pangeran satu ini terkenal kejam dan dijuluki Si Penyula (The Impaler, kalo bahasa Inggrisnya) karena metode penyiksaan dan pembunuhan lawan-lawannya yang super sadis ; tombak ditusuk dari anus (kadang sampai tembus lewat mulut) lalu sang musuh dibiarkan mati pelan-pelan sampai melorot dari ujung tombak ke pangkalnya.

Vlad Tepes berkuasa sekitar tahun 1450-1470an. Ia adalah orang yang berjasa menahan gempuran bangsa Ottoman/Turki yang saat itu tengah jaya-jayanya dibawah pimpinan Sultan Mehmed. Berkat kehebatannya, Ottoman nyaris gagal menguasai Rumania, Bulgaria dan kawasan Balkan lainnya. Berkat Vlad pula Ottoman gagal menguasai Eropa Tengah. Dengan kata lain, bagi kaumnya, Vlad Tepes adalah pahlawan yang dikagumi sekaligus ditakuti karena kekejamannya. Ia tidak segan-segan membantai siapapun yang menghalangi langkahnya. Karena kekejamannya itu pula konon jiwanya dikutuk tidak bisa masuk surga dan harus mengembara di dunia selamanya.

The Historian diawali dengan penemuan sekumpulan surat dan buku kuno oleh seorang wanita muda. Surat dan buku milik ayahnya itu ternyata mengungkapkan sebuah rahasia yang maha gelap ; bahwa Drakula ternyata masih hidup sampai hari ini. (ceritanya ber-setting tahun 70-an). Maka wanita muda ini pun (sampai akhir cerita, namanya tak kunjung disebutkan!!!) memulai perjalanannya mengikuti jejak-jejak Drakula lewat hasil riset sang ayah, ibu dan mentor mereka, Bartholomeuw Rossi.

Tokoh utama di cerita ini sebenarnya adalah Paul, ayah si gadis, yang mencari mentornya yang hilang. Dugaan mereka, sang mentor dijadikan tawanan oleh antek-antek Drakula yang mereka percayai, berdasarkan bukti-bukti yang ada, masih hidup dan menghantui kehidupan manusia modern. Lewat surat dan hasil riset Rossi, Paul dan Helen, koleganya yang ternyata adalah putri tunggal Rossi, bertualang ke Istanbul yang indah dan megah, Eropa Timur yang misterius dan Prancis yang romantis.

Perjalanan mereka tentunya tidak berjalan mulus karena kaki tangan Drakula, para vampir, terus berupaya menghalangi upaya penyelidikan mereka. Berdasarkan surat Rossi pula mereka menemukan kumpulan naskah kuno di berbagai perpustakaan penting dan mengungkap fakta-fakta sejarah yang mengejutkan. Berhasilkah mereka menemukan makam Drakula? Benarkah Drakula masih hidup? Ciee... seperti iklan film maksudnya...

Saat membeli buku ini sebenarnya saya agak pesimis. Soalnya saya memang bukan penggemar cerita horor, lebih-lebih Drakula atau Vampir yang modus operandi-nya sudah kita hafal betul. Namun saya tertarik dengan kemasan hard covernya yang bagus sekali. Jadi saya pikir, ”Kalaupun ngga terbaca, paling tidak bisa jadi hiasan yang cantik di rak buku ruang tamu”.

Tapi ternyata The Historian memang tidak mengecewakan. Elizabeth Kostova dengan sangat sabar dan tekun mendeskripsikan berbagai tempat, benda sampai makanan yang ada dalam bukunya ini. Jelas sekali bahwa si penulis memang telah melakukan riset yang sangat mendalam dan jelas sudah mengunjungi langsung tempat-tempat yang dikisahkannya dalam The Historian. Dengan telaten Kostova mencoba menggambarkan betapa indahnya pemandangan di desa kecil Poenari, seramnya reruntuhan istana Drakula, enaknya makanan khas Turki, sampai bebauan khas yang kita jumpai saat memasuki perpustakaan naskah kuno seorang sejarawan di Bulgaria.

Dan pastinya, saat membaca buku ini saya jadi kepengen jalan-jalan ke Eropa Timur! Dan buat mereka yang beragama Kristen, buku ini mungkin bisa jadi semacam panduan buat wisata ziarah karena Kostova dengan sangat baik menggambarkan keindahan dan keunikan biara-biara yang ditemui dalam perjalanan sang tokoh. Tapi penulis juga tak lupa mencantumkan mesjid-mesjid indah yang ditemuinya saat petualangan seru ini membawa sang tokoh ke Istanbul, Turki.

Model kisahnya sendiri juga mirip Balthasar’s Oddissey..yaitu perjalanan panjang melintasi berbagai negara dengan sarana yang terbatas untuk mencari suatu benda (kalo Balthasar’s Oddissey mencari buku, ini mencari Drakula). Peristiwa-peristiwa di buku ini tersampaikan dengan gaya flashback lewat surat-surat dari Rossi ke Paul dan dari Paul ke putri tunggalnya dan kemudian putrinya ini yang menyampaikan ke pembaca. Jadi kebayang, kalau kita baca dalam versi Inggris, semua kalimatnya pasti menggunakan ’past tense’. Jadi, melalui surat-surat itu kita tahu kalau kejadian di buku ini terjadi dalam tiga era ; 30an, 50an dan 70an. Alur cerita mungkin agak sedikit lambat, tapi tetap bisa menjaga rasa penasaran dan ketegangan kita.

Buat saya pribadi yang suka sejarah, buku ini sangat mengasyikan karena detail-detailnya itu. Sekaligus juga meluruskan berbagai persepsi sejarah kita yang keliru. Berbeda dengan Da Vinci Code-nya Dan Brown yang di kemudian hari bikin saya gondok karena banyaknya fakta yang keliru (termasuk deskripsi tentang tempat-tempatnya), The Historian dengan teliti mengorek fakta-fakta sejarah. Mungkin buat sebagian orang bahkan terlalu teliti sehingga pemaparannya cenderung bikin ngantuk. Dan, karena mungkin kita kurang akrab dengan sejarah Eropa Timur agak sulit juga membedakan mana yang fiksi, fakta dan sejarah? Untungnya, terjemahan buku ini sangat baik sehingga tidak mengganggu proses mencerna fakta-fakta nan detail tadi.

Yang pasti, Kostova memaparkan bagaimana cara kerja para sejarawan yang sesungguhnya ; dengan membaca ratusan buku, mengorek dokumen-dokumen kuno dan menjelajahi perpustakaan di seluruh dunia. Bukan dengan jumpalitan di atas kobaran api sambil menggendong wanita cantik a la Indiana Jones. >jay

Pengakuan Perusak Perekonomian Negara


Title:
Category:

Confessions of an Economic Hitman
Books
Genre:
Nonfiction
Author:
John Perkins


note: resensi ini dibuat tahun 2008 lalu...

Berhubung saya bukan termasuk orang yang rajin membaca berita politik dan ekonomi, tentunya saya tidak terlalu paham kenapa, misalnya, presiden A tiba-tiba digulingkan, atau negara B tau-tau dinyatakan pailit, atau kenapa perekonomian Indonesia tidak kunjung maju dan masih tetap carut-marut seperti sekarang?

Buku ‘Confessions of an Economic Hit Man’ sedikit banyak menjawab pertanyaan itu. Buku ini berkisah tentang John Perkins, seorang pria yang bisa dibilang turut bertanggungjawab atas kondisi perekonomian bangsa kita sekarang ini dan beberapa negara lainnya di dunia.

Profesinya disebut ‘Economic Hit Man’ atau terjemahan harfiahnya mungkin ‘Perusak Perekonomian’. Ia bekerja untuk MAIN, sebuah perusahaan kontraktor yang bergerak dibidang energi tapi juga merupakan bagian dari apa yang disebut korporatokrasi, sebuah hasil konspirasi tingkat tinggi antara negara, bank, dan korporasi. Tugas utamanya adalah membujuk pemimpin negara-negara dunia ketiga, terutama yang memiliki sumber daya alam, minyak khususnya, yang berlimpah tapi tidak mempunyai kemampuan atau sarana untuk mengeksploitasinya. Bahkan mungkin negara-negara itu tidak tahu kalau mereka itu begitu kaya sumber daya alamnya.

Si Perkins ini akan meyakinkan pemimpin negara tersebut, diantaranya Ekuador, Indonesia, bahkan Arab Saudi, untuk menerima ‘pinjaman’ dari Amerika Serikat dalam rangka membiayai proyek infrastruktur dinegaranya. Misalnya, pembangunan listrik, jalan dan lain sebagainya. Tugas Perkins selanjutnya, setelah ‘bantuan’ itu disalurkan, meyakinkan bahwa uang tersebut akan tetap berputar kembali masuk ke korporatokrasi Amerika. Caranya? Dengan mewajibkan negara penerima bantuan untuk menyerahkan proyeknya ke perusahaan-perusahaan Amerika. Dengan kata lain, bantuan atau pinjaman yang diberikan itu ya sebenarnya masuk ke kantong orang Amerika juga.

Gawatnya apa? Karena terus menerus berhutang, negara-negara itu pada akhirnya tidak akan pernah mampu membayar hutangnya. Pembayaran pun dilakukan antara lain dengan pemberian hak-hak istimewa untuk perusahaan Amerika, khususnya perusahaan minyak, atau pemberian ijin untuk mendirikan pangkalan militer di negara tersebut. Menurut pengakuan Perkins, George HW Bush, Dick Cheney, adalah sejumlah nama yang turut terlibat dalam masalah ini.

Bagaimana para pemimpin negara itu mau menerima proposal Perkins? Ya tentunya dengan menjamin kekayaan untuk segelintir orang di negara tersebut. Jika menolak? Taruhannya banyak… bisa kekuasaan, bisa juga nyawanya. Syah Iran yang digulingkan karena andil CIA di tahun 60-an adalah contohnya, sedangkan Pemimpin Panama Omar Torrijos dan juga presiden Ekuador Jaime Roldos adalah contoh pemimpin yang diduga mempersulit tugas Economic Hitman (EHM) sehingga harus mengalami ‘kecelakaan pesawat’ yang merenggut nyawanya. Sebuah kebetulan yang terlalu aneh….

Tapi tugas EHM tidak selalu lancar. Contohnya adalah Venezuela dan Irak. DI Venezuela, EHM mencoba mengulangi apa yang mereka lakukan di Iran pada 60-an : mengorganisir massa untuk menggulingkan presiden/pemimpin negara. Mulanya sempat berhasil, tapi presiden Chavez ternyata bisa memulihkan kekuasaannya. Seandainya tidak ada perang Irak, mungkin Venezuela juga bakal diserbu oleh Amerika dengan dalih yang sama yang mereka gunakan untuk menangkap Saddam Hussein. Memang, kalau cara manipulasi sudah gagal, solusi terakhir adalah dengan kekuatan militer. Ulah Saddam Hussein dijadikan dalih untuk menggempur Irak, padahal tujuan utamanya adalah minyak karena cadangan minyak Amerika sudah mencapai titik kritis.

Pada akhirnya, si Perkins mulai sadar. Dan untuk mengurangi rasa bersalahnya dia mulai menjadi aktivis lingkungan hidup dan juga masyarakat di daerah tertinggal, khususnya di kawasan Amazon. Ia juga mengepalai sejumlah LSM di Amazon yang menuntut keadilan dari perusahaan-perusahaan minyak di daerah tersebut. Meskipun sempat diancam, namun Perkins nekad menerbitkan buku ini.

Rasanya tidak perlu menceritakan terlalu detail, karena nanti malah jadi spoiler. alhamdulillah, isinya sangat memuaskan buat saya pribadi. Bagus, membukakan wawasan, dan sedikit bergaya novel konspirasi a la Tom Clancy atau bahkan Dan Brown meskipun buku ini adalah buku non fiksi.

Kalaupun ada sedikit kekurangan, terletak pada terjemahannya yang masih sering menterjemahkan ‘kata per kata’.. ada saja kalimat/idiom yang rasanya kurang pas terjemahannya. Kekurangan ini makin terasa begitu mendekati bab-bab akhir. Si penterjemah seolah-olah kehabisan energi untuk menterjemahkan atau mungkin diuber-uber deadline dari penerbit.

Tapi overall, saya merekomendasikan buku menarik ini untuk anda baca, bahkan sebaiknya anda miliki sebagai koleksi….untuk mengingatkan betapa jahatnya sistem kapitalis Amerika itu…