Jumat, 12 Oktober 2012

"Brand Failure : The Truth About 100 biggest Branding Mistakes of All Time".. resensi buku




Ford Pinto adalah salah satu produk Ford yang paling sukses, kecuali di Brazil... karena ternyata, di Brazil, Pinto berarti “penis kecil”....

Setiap hari, ribuan perusahaan di seluruh dunia melahirkan ribuan brand baru. Ada yang bertahan lama, ada Cuma berumur sekejap. Brand sendiri kini diartikan lebih dari Cuma sekedar nama produk atau logo. Brand adalah sesuatu yang menghubungkan sebuah organisasi atau perusahaan dengan konsumennya. Brand yang dikelola dengan baik tentunya akan memiliki nilai dan popularitas yang sangat tinggi. Tapi ada juga kesalahan fatal yang dibuat para manajer saat mengelola brand sehingga brand tersebut hancur lebur.
Buku “Brand Failures” cukup menarik karena mengajak kita belajar dari kegagalan. Ada 100 kasus yang diangkat dalam buku ini untuk kita jadikan pelajaran saat mengelola brand yang kita miliki. Selain mendidik, buku ini cukup menghibur karena bahasanya ringan dan banyak kasus-kasus konyol yang diceritakan disini.

Penyebab kegagalan brand ada enam, yaitu :
  • Brand amnesia, yaitu saat brand itu sendiri sudah melupakan akar dan identitasnya
  • Brand ego, yaitu ketika sebuah brand kelewat pede sehingga tidak mengukur kemampuannya sendiri dan tidak memperhatikan pesaingnya
  • Brand megalomaniac, yaitu ketika sebuah brand berekspansi ke semua produk yang jauh dari core-nya
  • Brand deception, yaitu saat sebuah brand mempromosikan diri secara berlebihan tapi lalu gagal memenuhi ekpektasi konsumennya
  • Brand fatigue, yaitu brand yang sudah jenuh, sudah tidak lagi kreatif
  • Brand paranoia, yaitu brand yang merasa takut berlebihan terhadap pesaingnya sehingga malah membuat langkah-langkah yang merugikan dirinya sendiri
  • Brand irrelevance, yaitu ketika sebuah brand sudah tidak lagi relevan dengan situasi dan kondisi pasar
Buku karya Matt Haig ini membagi contoh-contoh kasus kegagalan brand dalam 10 kategori. Yang pertama adalah contoh kasus Klasik. Misalnya, kasus Coca Cola yang gagal total saat meluncurkan New Coke. Lalu kategori kedua adalah Idea failures, berisikan contoh-contoh brand yang sejak awal harusnya sudah bisa diprediksi gagal karena idenya sudah bodoh dari pertama. Misalnya saja, produk Thirsty Cat& Dog, yaitu produk air mineral khusus buat kucing dan anjing piaraan, atau Pepsi yang pernah meluncurkan produk Cola berwarna bening.

Kategori berikutnya adalah Extension failure. Ini berisikan produk yang gagal karena berusaha memperluas brandnya tanpa perhitungan yang matang sehingga akhirnya malah merusak core-brand itu sendiri. Contoh kasusnya adalah Harley Davidson yang nekad meluncurkan parfum. Gara-gara parfum itu, produsen motor gede ini sempat ditinggal penggemarnya lantaran sudah dianggap kelewatan mengkomersilkan diri..lagipula mana ada anggota geng Hell Angel pake parfum tokh?! Contoh lainnya adalah perusahaan Virgin yang nekad beradu dengan Coca Cola dan Pepsi di pasar minuman Cola, ada juga majalah Cosmopolitan yang meluncurkan produk yoghurt dan celana dalam produksi Bic, brand yang selama ini lebih dikenal sebagai penghasil produk alat tulis.

Ada juga brand yang gagal total karena PR (public relation)-nya yang tidak becus. Contoh paling spektakuler adalah Exxon yang tidak menangani kasus tumpahan minyak Exxon Valdes dengan baik. Ada juga kasus PanAm yang akhirnya bangkrut karena insiden meledaknya pesawat mereka akibat bom dan masih banyak lagi. Brand yang gagal karena tidak mendalami budaya juga banyak, seperti kasus Ford Pinto di atas. Mungkin sewaktu-waktu saya akan buat contoh-contoh kasus berdasarkan kategori dalam buku ini ya?

Secara keseluruhan, sekali lagi, buku ini memang sangat menarik bukan saja buat mereka yang mendalami bidang marketing atau branding, tapi juga buat orang awam. Memang ternyata lebih seru belajar dari kegagalan ketimbang membaca success story yang isinya cenderung menyombongkan diri. Dalam setiap kasus, Haig juga akan membuat semacam kesimpulan singkat tentang pelajaran yang bisa dipetik dari kegagalan brand yang diceritakan disini.

Overall, ini buku yang sangat menarik. Mendidik sekaligus menghibur dan tidak bikin pusing dengan gaya tulisan yang cukup ringan. (jay)

Jumat, 13 Juli 2012

Tidak Perlu Sekolah....?


Sekolah itu tidak penting…… ?

Tidak perlu sekolah tinggi-tinggi…Bill Gates, Steve Jobbs dan Mark Zuckerberg yang dropout saja bisa jadi orang maha kaya…
Buat mereka yang masih menjadikan tiga orang itu sebagai patokan dan alasan untuk tidak bersekolah, saya tantang untuk tidak menyekolahkan anaknya sama sekali.



Baru-baru ini saya baca artikel tentang kekhawatiran di Amerika Serikat, dimana banyak mahasiswa yang memilih berhenti belajar demi berbisnis dan jadi kaya seperti Bill Gates. Alasannya? Ya percuma sekolah, yang drop out saja bisa jadi milyuner…

Saya pribadi sangat menyayangkan mereka yang berpikiran seperti ini. Memangnya kenapa kalo bersekolah? Percuma? Banyak yang bilang begitu…percuma dilanjutkan sekolah, tokh saat lulus nanti ilmunya tidak terpakai dan paling-paling Cuma jadi karyawan. Lebih baik jadi orang yang ‘street smart’, pintar dalam kehidupan yang sesungguhnya daripada Cuma pintar sebagai pelajar, jago bikin tugas dan paper tapi tidak bisa berbisnis atau jadi manajer yang baik.

Well…tidak semua orang diberkahi bakat dan keberuntungan seperti Bill Gates kan?

Sekolah, menurut saya, memang tidak bakal membuat anda jadi kaya raya, tapi juga tidak bakal membuat anda jadi orang sengsara. Untuk bisa sukses besar, tetap dibutuhkan banyak faktor; bakat, kerja keras, koneksi, jaringan dan sedikit keberuntungan. Banyak orang yang antipati terhadap sekolah karena dianggap mengungkung kreativitas, menyuburkan feodalisme, dan sebagainya lah.

Untuk soal sekolah ini, saya tetap berpegangan pada salah satu buku favorit saya ; The Outliers, karyanya Malcolm Gladwell. Menurut si Malcolm, untuk seseorang bisa mencapai sukses luar biasa, dia harus bisa menempatkan dirinya, baik sengaja maupun tidak, dalam serangkaian kondisi yang mendukung ia bisa berhasil. Salah satu contoh yang diambil dalam buku itu memang Bill Gates. Okelah ia tidak lulus kuliah, tapi sepanjang hidupnya ia selalu berada dalam situasi yang menguntungkan. Salah satunya saat ia SMP atau SMA, sekolahnya adalah satu dari sedikit sekolah yang mempunyai perangkat komputer yang lengkap dan canggih. Gates remaja sering mencuri waktu untuk begadang di laboratorium sekolah, belajar tentang coding, programming dan lain sebagainya. Saat teman-teman lain pacaran atau keluyuran, Gates lebih suka mendalami komputer yang ketika itu mungkin masih dianggap sesuatu yang terlalu nerdy, aneh dan tidak menarik. Hasilnya? Gates punya ilmu komputer yang beberapa langkah lebih maju dibanding teman-temannya. Kisah ini, tampaknya sering dilupakan saat orang menjadikan Gates sebagai panutan. Yang diingatnya Cuma satu : Gates, tidak menyelesaikan kuliah dan karenanya jadi kaya…

Orang seperti Gates itu, menurut saya adalah anomali, atau bahkan mitos. Sama halnya dengan Lionel Messi yang bertubuh kuntet tapi jago luar biasa atau Stevie Wonder yang buta tapi jago main piano… meskipun kita tidak suka, ya mau tidak mau harus diakui bahwa kita masih tinggal di dunia yang memiliki standar-standar baku untuk profesi ataupun kedudukan tertentu : Direktur harus lulusan perguruan tinggi, pemain basket harus tinggi, pemain bola harus kuat, dan pemain piano alangkah idealnya bila tidak buta…

Sekolah, sekali lagi, memang tidak menjamin kesuksesan atau kekayaan. Ia hanyalah sebuah cara, sebuah metode dari ribuan pilihan agar orang bisa mencapai cita-citanya. Perumpamaannya begini ; saat anda lapar datanglah ke dapur. Di dapur, sudah tersedia segala macam bahan baku untuk ‘mengobati’ lapar. Tinggal pilihan anda mau melakukan apa. Masak mie instan? Telor ceplok? Atau bikin Beef Wellington ala Gordon Ramsay yang maha enak itu? Semuanya bisa mengganjal perut. Kemauan dan kepintaran anda mengolah bahan di dapur yang akan menentukan kualitas ‘obat lapar’ anda.

Apakah Cuma dapur tempat menghilangkan lapar? Jelas tidak… kalau punya uang, anda bisa pergi ke rumah makan Padang. Kalau punya nenek yang pintar masak, anda tinggal pergi ke rumah nenek. Kalau anda nekad, anda bisa memalak jajanan milik anak-anak SD di dekat rumah… semuanya, sama-sama bisa menghilangkan lapar anda. Semuanya sama saja, tapi tetap…saat anda berada di rumah, dapur adalah pilihan paling mudah untuk mencari pengganjal perut.  

Kalau sekolah formal memang bukan pilihan tetap saja anda harus ‘bersekolah’ tokh? Baca buku dan belajar dari orang tua, saudara, atau berusaha mengenal orang-orang yang bisa mengajari dan membantu anda mencapai tujuan, apakah itu untuk berbisnis ataupun mendalami profesi tertentu.

Saat anda bersekolah, apapun tingkatannya, anda tidak Cuma mempelajari ilmu yang jadi major anda. Anda belajar struktur, anda belajar birokrasi, anda belajar menghadapi dosen-dosen nyentrik, anda belajar menuntaskan sebuah project. Yang lebih penting, anda belajar berkawan, menjalin networking dengan teman, dosen, dan mengenal serta mengambil suri tauladan dari orang-orang hebat yang anda temui selama di kampus. Syukur-syukur juga menemukan calon istri di kampus..hehehe… Kalau itu semua masih anda anggap tidak bermanfaat dalam kehidupan nyata, minimal sekolah atau kuliah, dijamin pasti akan membuka wawasan dan pola berpikir anda.

Bahkan, sekarang ini mungkin sekolah adalah cara termudah, termurah dan paling masuk akan untuk anda bisa keliling dunia. Anda bisa tinggal di luar negeri berkat beasiswa, menjelajahi daerah antah berantah karena dapat dana riset, jadi selebriti karena sering diundang sebagai narasumber ahli dalam talkshow TV dan jadi kaya berkat menerbitkan buku.

Lalu, apa semua sekolah sama saja? Kalau iya, kenapa banyak orang tua rela jumpalitan demi memasukkan anaknya ke sekolah yang ‘katanya’ favorit? Alasannya masih kurang lebih sama…dengan belajar di sekolah terbaik akan meningkatkan peluang anda atau anak anda untuk berada dalam kondisi yang ‘favourable’ seperti saya sebutkan tadi. Sekolah bagus pasti mempunyai fasilitas bagus. Anda akan berada di tengah orang-orang pintar dengan pola berpikir yang luas dan jiwa kompetitif yang akan mendorong anda untuk menjadi orang yang lebih baik. Memangnya Zuckerberg akan bisa sukses kalau tidak pernah mendapat ilham dari teman dan dosen-dosennya di Harvard?!

Sayangnya, tidak semua orang punya akses ke pendidikan yang baik ini..tapi, lagi-lagi sekali lagi…sekolah kan memang bukan satu-satunya cara menuju sukses J

Ada satu ungkapan yang bilang begini :
“Guru yang baik itu tidak sekedar menunjukkan jalan kepada tujuan anda, tapi ia memperlihatkan pilihan-pilihan jalan yang bisa anda tempuh untuk mencapai tujuan anda”

Tentunya setiap orang punya hak berpendapat. Adalah pilihan anda bila tidak mau bersekolah tinggi-tinggi karena ingin seperti Mark Zuckerberg. Tapi ingat, dari setiap satu orang Steve Jobs ada jutaan orang lain yang Steve Jobless..alias pengangguran dan tidak bisa mendapat penghidupan yang layak Cuma karena tidak punya latar belakang pendidikan yang memadai. Tiga orang yang saya sebut namanya dari tadi, jadi terkenal dan jadi sumber cerita yang tidak ada habisnya ya… karena mereka memang manusia istimewa : tidak lulus kuliah, tapi bisa sukses… orang sering lupa menyebutkan ribuan CEO atau milyuner yang bisa mencapai posisi mereka berkat pendidikan mereka yang tinggi. Tidak usah jauh-jauhlah, lihat saja BJ Habibie yang gelarnya bejibun dan sekolahnya banyak banget. Kenapa bukan beliau yang anda jadikan panutan buat anak-anak anda?

Lagipula….tidak mungkin Microsoft bisa sehebat sekarang bila Gates tidak dibantu oleh orang-orang pintar yang dibekali berbagai teori bisnis yang didapatnya juga ya.. dari sekolah.  

Saya sendiri berasal dari keluarga yang menunjung tinggi pentingnya pendidikan. Kami mungkin bukan dan tidak akan pernah jadi orang kaya raya seperti Mark Zuckerberg. Tapi paling tidak, saya dan keluarga pun insyaallah masih bisa hidup berkecukupan berbekal ilmu yang didapat dari sekolah. Pendidikan saya, membawa saya menemui sahabat-sahabat yang luar biasa, memaksa saya membaca buku-buku yang mempesona dan mengenali banyaknya hal menakjubkan di dunia. Saya harap, semua anak di Indonesia bisa mengalami semua keajaiban dari pendidikan itu….

Jadi.. masih berpikir tidak perlu sekolah?



 note: gambar diambil dari ffffound.com, tanpa ijin....

Rabu, 29 Februari 2012

Inspirasi Jeremy Lin

It’s Linsanity!

Ah, orang Amerika itu memang pinter sekali bikin ‘feel good story’..cerita kepahlawanan yang menyentuh, dan menginspirasi. Yang satu ini jadi perhatian saya karena saya mengikuti banget basket NBA. Namanya : Jeremy Lin, point guard dari New York Knicks.

Semua media Amerika berebutan memajang tampang orang Taiwan-Amerika ini di-covernya. Terakhir, dia nongol di sampul majalah TIME, dan menjadi pebasket kedua dalam sejarah, setelah Michael Jordan yang muncul di cover Sport Illustrated dua kali berturut-turut. Lin juga memecahkan rekor Michael Jordan dan Shaquille O’neal sebagai pencetak skor terbanyak dalam sejarah NBA dalam 5 kali penampilan perdananya sebagai starter. Apa hebatnya?

Lin kuliah di Harvard. Meskipun itu sekolah hebat, tapi jelas bukan sekolah yang punya tradisi basket. Bahkan, lulusan Harvard lebih banyak yang jadi presiden Amerika Serikat dibandingkan jadi pebasket profesional. Sudah tiga tahun Lin bermasuk masuk NBA, tapi nyaris tidak dapat kesempatan main. Kalaupun dapat giliran, paling-paling Cuma 5 sampai 10 menit. Garbage time istilahnya. Tapi Lin tidak menyerah, ia tetap rajin latihan sambil menunggu kesempatan. Sampai tibalah saatnya pelatih New York Knicks kehabisan pemain, dan terpaksa menjadikan Lin starter. Hasilnya ya semua sudah tau...

Tidak ada yang menyangka kalo Lin ini ternyata sedemikian hebat. Dalam basket, ada istilah ‘in the zone’ atau ‘on fire’, ada semacam mekanisme dalam tubuh seorang pemain yang membuat dia mendadak jadi hebat dalam satu pertandingan. Semua tembakannya masuk, semua yang dilakukan bener-bener sempurna deh pokoknya. Waktu Jeremy Lin berhasil mempecudangi Kobe Bryant dengan mencetak 38 poin saat New York mengalahkan Lakers, banyak yang bilang itu Cuma kebetulan...kebetulan aja si Lin lagi ‘on fire’..tapi ternyata ga Cuma disatu pertandingan itu aja...sejak ditunjuk jadi starter dadakan, Knicks tidak pernah kalah 7 pertandingan berturut-turut.

Pernah nonton film Any Given Sunday? Itu film tentang american football, inti ceritanya tentang seorang quarter back lapis ketiga, yang baru dapat kesempatan main gara-gara dua quarterback utama timnya cidera. Ternyata eh ternyata, dia ini jago banget! Dan timnya menang terus sejak dia jadi starter. Lin ini ceritanya mirip sekali...

Saya ga akan berpanjang lebar cerita tentang Jeremy Lin lah, semua media termasuk di Indonesia udah keseringan membahas si Jeremy Lin ini. Yang saya permasalahkan, kenapa kita ga bisa menemukan cerita seperti ini di Indonesia? Jeremy Lin ini bisa dibilang sebenernya adalah selebriti instan. Bedanya dengan selebriti instan di Indonesia, cerita tentang kerja keras dan kegigihannya sangat menonjol dan diangkat terus oleh media... hard work and perseverance adalah tema dari kegemilangan Jeremy Lin baik di lapangan maupun di media massa....bukan sekedar sensasi karena melakukan hal aneh di TV atau internet

Lin dikenal sebagai pekerja keras, tidak mudah menyerah, dan selalu menghormati senior-seniornya di NBA. Dengan gajinya yang kecil sebagai pemain ia bahkan tidak punya cukup uang untuk menyewa apartemen sendiri. Selama bermain untuk New York Knicks, ia numpang tidur di sofa kakaknya. Yang membuat dia makin sensasional, ia adalah orang Taiwan, yang notabene sama sekali ga punya sejarah bagus di dunia olahraga profesional, apalagi basket NBA.

Cerita macam begini memang luar biasa, cocok banget buat dibikin film, sayangnya kok saya jarang mendengar kisah begini di Indonesia, setidaknya lewat media massa konvensional kita (TV, koran). Semua lebih sibuk gembar gembor berita politik, korupsi, skandal, kerusuhan sampai perkosaan. Coba dipikir, apa ga tambah bebal otak orang-orang yang nonton? Lama-lama kita semua jadi mati rasa melihat kekacauan disekeliling kita. Media, terutama tV, nyaris ga pernah menyiarkan materi yang layak dijadikan motivasi, inspirasi atapun teladan. Memang ada acara TV bagus seperti Kick Andy, misalnya. Tapi berapa orang sih yang nonton? Kalaupun ada kisah-kisah inspiratif, saya Cuma dapat dari link di twitter atau facebook. Berapa besar frekuensinya sehingga cukup untuk mempengaruhi orang? Bandingkan dengan si Olga yang sukses membuat banyak ABG lelaki ingin jadi bencong biar terkenal dan banyak duit?!

Belakangan, ada dua tokoh yang menurut saya cukup menyegarkan isi media kita ; Dahlan Iskan dan Joko Widodo. Rasanya sejuk setiap membaca berita dari dua orang itu. Alhamdulillah masih ada orang ‘bener’ di negara ini, terlepas dari seperti apa sesungguhnya kepribadian beliau berdua, tapi paling tidak layaklah dijadikan teladan. Sayangnya, sekali lagi, mereka tampil Cuma di media yang ‘berat’, yang pembacanya adalah orang yang mungkin gak perlu lagi diajari atau diberi motivasi. Coba dong, bikin sinetron yang mengajarkan kita untuk kerja keras? Atau bikin gosip tentang artis yang memang perjuangannya luar biasa, ga Cuma terkenal mendadak gara-gara youtube atau jambul?

Seorang teman yang kerja di TV pernah bilang tentang keprihatinannya meliat alay-alay yang tiap pagi menari bak robot di acara TV yang dipandu bencong-bencong itu... mereka memang melihat bahwa cara memperbaiki kehidupan mereka adalah dengan menjadi terkenal, masuk TV dan dapat uang dengan mudah.. even if it means harus jadi bencong...

Coba teman-teman di TV...beneran anak muda seperti itu yang pengen kalian bentuk?!

Coba dong, carikan saya Jeremy Lin versi Indonesia....

Selasa, 28 Februari 2012

Men Are Pigs

Men are Pigs

Yes..it is scientifically proven...
Semua laki-laki memang babi... bukan Cuma karena DNA babi dan manusia itu nyaris sama, tapi juga dari segi kelakuan...

Saya pernah baca artikel di majalah TIME, tentang kenapa banyak laki-laki hebat yang kejeblos gara-gara skandal seksual; Bill Clinton, terus itu si gubernur IMF Strauss-Kahn itu lah... Arnold Schwazzeneger, PM Italia, Tiger Wood..terus yang lokal juga banyak ; Aa Gym, terus Menteri siapa lah itu, Ariel Peterpan...dan masiiiih banyak lagi...

Ternyata eh ternyata... seperti kata Sigmund Freud bahwa manusia itu sebenernya adalah sexual being, pemenuhan hasrat seksual (tidak selalu berarti ‘having sex’) memang menjadi semacam achievement puncak buat laki-laki. Pada saat semua prestasi sudah dicapai, uang udah banyak, jabatan sudah tinggi, apalagi yang dicari? Ya kebanyakan larinya ke semacam sexual conquer, penaklukan seksual..kebanggaan bisa menaklukan perempuan rupanya lebih tinggi daripada kepuasan meraih uang atau jabatan. Makanya, banyak pula yang tidak segan memamerkan selingkuhannya kepada rekan sejawat untuk menunjukan betapa powerful-nya dia. Yang penting, jangan ketauan istri, hehehe.. repotnya, banyak profesi yang memang meng-encourage perilaku seperti ini...saling menutupi kelakuan teman-temannya, apalagi kalo si lelaki ini memang masuk kategori boss atau penguasa. Dorongan untuk mengambil risiko besar pun jadi lumayan kuat...

ini bukan pendapat saya lho yaaa...tapi hasil studi ilmiah, hehe

With power, comes confidence, with confidence come opportunity....

Kata Mark Held, seorang psikolog dari Amerika; “laki-laki itu cenderung bertindak berdasarkan kesempatan, dimana ada kesempatan pasti mereka akan memanfaatkan!”, katanya. Ia juga menambahkan, bahwa kenapa laki-laki sukses itu cenderung selingkuh, karena setelah semua kehebatan mereka itu, ternyata mereka masih butuh sexual entitlement. Perilaku ini akan lebih kental pada mereka yang berasal dari keluarga kaya, keluarga berada...semua kebutuhan mereka sejak kecil selalu dipenuhi, semua yang mereka mau pasti bisa didapat, dan ini akhirnya keterusan sampe mereka besar.

Yang jelas, menurut ahli biologi, semakin sukses seseorang, maka justru kemampuan self restrain-nya memang makin berkurang. Bagi mereka, norma dan aturan sosial tidak berlaku buat mereka karena mereka adalah orang ‘hebat’...

So..jangan heran ya kalo bakal ditemukan lebih banyak lagi skandal ‘pejabat’ di masa datang J