Sabtu, 22 November 2014

10 Manipulasi Oleh Media

Tulisan ini jelas bukan barang baru, bahkan mungkin ketinggalan dari banyak orang..

Kebetulan saja menemukan teorinya Noam Chomsky tentang manipulasi media ini.. dan kemudian mencoba membandingkannya dengan kondisi media di negara kita, terutama dalam beberapa tahun terakhir, dimana begitu banyak informasi yang tidak jelas sumbernya dan beredar melalui kanal-kanal yang juga meragukan kredibilitasnya. Sedihnya, berita-berita yang ‘gak jelas’ dan cenderung provokatif serta sama sekali tidak menyentuh substansi justru malah makin marak bermunculan di media mainstream kita, utamanya TV. Termasuk tentunya berita infotainment, siaran langsung pernikahan artis seharian penuh, pertengkaran elit politik, soal tato menteri, dan seterusnya.. mayoritas malah membuat publik melupakan substansi masalah yang sebenarnya.
Inti dari strategi manipulasi melalui media ini adalah mendorong proses pembodohan, menciptakan rasa bersalah, membuat pengalihan isyu dan menciptakan sebuah masalah yang artifisial sekaligus menawarkan solusinya
Ini dia, menurut Noam Chomsky, strategi-strategi manipulasi dengan menggunakan media yang sering digunakan untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari agenda tersembunyi. Yang jadi pertanyaan besarnya adalah, siapa sebenarnya pelakunya? Pemerintah? Atau tangan-tangan lain yang punya banyak kepentingan di negeri ini?
    1. Strategi Pengalihan Isu (distraction)
      Ini adalah komponen utama dari kontrol sosial. Caranya adalah dengan melemparkan sebuah isu untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah besar atau dari gerakan tertentu dengan membanjiri masyarakat dengan informasi dan berita-berita yang sebenarnya tidak penting.

        2. Menciptakan masalah dan menawarkan solusinya
          Disebut juga sebagai metode ‘problem-reaction-solution’. Melalui taktik ini, sebuah masalah akan ‘dilemparkan’ ke masyarakat untuk memicu reaksi tertentu. Bisa dalam bentuk sebuah krisis, atau bahkan menciptakan kerusuhan. Misalnya saja (misalnya lho!), bila kita ingin menghapuskan penjualan minuman keras, rekayasa saja sebuah kerusuhan besar yang pemicunya adalah segerombolan pemuda mabuk. Masyarakat akan mengutuk para peminum dan penjual alkohol, dan kemudian pemerintah dapat menawarkan solusi berupa pelarangan penjualan minuman beralkohol.

            3. Strategi Gradual
              Bila sebuah paham atau kebijakan dipandang akan sulit diterima masyarakat, maka harus diterapkan secara gradual dan perlahan-lahan. Taktik ini digunakan saat menerapkan hal-hal seperti privatisasi, liberalisme, dan lain-lain.

                4. Strategi Penundaan
                  Ini biasanya digunakan untuk menerapkan kebijakan yang tidak populer. Caranya adalah dengan bahwa alaupun kebijakan tersebut menyakitkan, tapi sangat perlu karena bisa menciptakan masalah yang sangat besar di kemudian hari. Contoh paling mudah, mungkin adalah tentang kenaikan BBM yang sangat memberatkan APBN.

                    5. Menganggap masyarakat sebagai anak kecil
                      Masyarakat harus diperlakukan seperti anak kecil. Suguhi terus mereka dengan informasi dan materi hiburan yang tidak menggugah intelektualitas mereka. Banyak iklan di TV pun menggunakan gaya bahasa dan intonasi seperti berbicara pada anak-anak. Dengan demikian, masyarakat dihambat untuk dapat berpikir kritis, selalu merasa sebagai pihak yang lemah, bodoh dan perlu selalu dilindungi.

                        6. Buat masyarakat cuek dan tetap terbelakang
                          Kualitas pendidikan untuk masyarakat kelas bawah harus dibuat seburuk mungkin, sehingga masyarakat menjadi cuek (ignorant) dan tetap rata-rata atau biasa-biasa saja (medioker) serta gagap teknologi sehingga gap dengan masyarakat kelas atas makin jauh.

                            7. Mendorong masyarakat untuk menerima kondisi terbelakang
                              Media didorong untuk menciptakan pemahaman bahwa ‘biasa-biasa aja, cuek dan tidak berpendidikan itu keren’.

                                8. Memanfaatkan sisi emosional
                                  Isi media cenderung mengeksploitasi emosi. Dengan memancing emosi masyarakat, maka sisi rasional mereka akan terkesampingkan sehingga lebih mudah untuk menanamkan agenda tertentu.

                                    9. Membangkitkan rasa bersalah (self-guilt)
                                      Mendorong masyarakat untuk merasa bahwa segala kekurangan yang ada sekarang ini adalah dikarenakan kesalahan mereka sendiri, karena mereka kurang berusaha, kurang pintar, dan lain-lain.

                                        10. Mengenali masyarakat lebih daripada mereka mengenali dirinya sendiri
                                          Berkat kemajuan teknologi, para pengambil kebijakan bisa mengenal dan mengidentifikasi individu-individu mungkin lebih baik daripada individu itu sendiri. Akibatnya, mereka memiliki kemampuan dan kekuasaan untuk mengendalikan publik di luar kesadaran publik itu sendiri.

                                          Kalau melihat taktik manipulasi menurut Noam Chomsky, rasanya sih banyak kemiripan dengan yang terjadi di negara kita sejak dulu. Intinya, mari mulai menyimak media massa, sosial media maupun informasi yang masuk secara lebih bijak. Jangan mau kita dijadikan bahan eksperimen oleh ‘tangan-tangan tak terlihat’ yang punya kepentingan terhadap kita. Setuju? (jay)

                                          Tulisan ini disadur dan diterjemahkan bebas dari noam-chomski.tumblr.com

                                          The Alchemy Of Air : kisah dua jenius yang berani berpikir besar...

                                          Semuanya bermula dari ramalan Sir William Crookes di tahun 1898 tentang kiamat. Ratusan juta manusia tidak akan dapat bertahan hidup karena kekurangan pangan. Ketika itu, teknologi pertanian bisa dibilang telah mencapai puncaknya, sedangkan pasokan pupuk dari Amerika Selatan terus menipis. Bila komunitas ilmuwan tidak melakukan sesuatu, tamatlah riwayat manusia karena kelaparan.

                                          Pernyataan Crookes itu memicu para ilmuwan berlomba mencari solusi untuk meningkatkan produksi pangan yang, menurut Crookes, jawabannya terletak pada menemukan cara menghasilkan nitrogen terfiksasi. Nitrogen ada dimana-mana, dan dibutuhkan semua makhluk hidup. Tapi ia harus berada dalam keadaan terfiksasi agar bisa dimanfaatkan oleh manusia maupun tanaman.

                                          Setelah melalui berbagai metode, intrik, konflik, dan ribuan kegagalan, tersebutlah Fritz Haber, seorang ahli kimia jenius Yahudi-Jerman yang berhasil menemukan cara membuat nitrogen terfiksasi dalam wujud amoniak sintesis. Haber,yang  di kemudian hari meraih hadiah Nobel atas perannya menciptakan amoniak sintesis, bekerja sama dengan insinyur brilian, Carl Bosch, untuk memproduksi amoniak tersebut dalam skala industri. Penemuan mereka, yang kemudian disebut proses Haber-Bosch, berhasil mematahkan ramalan Crookes, menyelamatkan miliaran nyawa sekaligus membunuh jutaan manusia.

                                          Buku The Alchemy of Air ini sebenarnya adalah adalah buku ilmiah-sejarah, namun diceritakan dengan gaya naratif yang sangat mengalir, dengan bahasa ringan, sehingga terasa seperti membaca sebuah novel. Untuk memberi gambaran tentang betapa besarnya peran nitrogen – dalam bentuk pupuk – bagi kehidupan manusia di dunia, penulis memulai dengan menceritakan sejarah Perang Guano di Peru. Bagaimana pecahnya perang di Amerika Selatan karena memperebutkan Kepulauan Chincha, sebuah kepulauan dengan cadangan guano terbesar di dunia(kotoran burung) yang pada tahun 1870an dikenal sebagai pupuk nomor wahid di dunia. Negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat bergantung sepenuhnya pada pasokan guano dari Peru untuk memupuk ladang-ladang mereka.

                                          Menipisnya persediaan guano, membuat para pengusaha dan ilmuwan mencari sumber pupuk terbaik lainnya. Sumber nitrat yang sangat besar ditemukan di Gurun Atacama, Peru. Gurun inipun menjadi sumber emas baru, sekaligus sumber konflik yang akhirnya memicu terjadinya perang antara Peru dan Chili.
                                          Sementara itu, di Jerman, negara dengan sumber daya alam sangat terbatas dan sangat bergantung pada pasokan guano maupun nitrat dari Amerika Selatan untuk pertanian dan militernya, para ilmuwan bertanding menjawab tantangan Crookes. Fritz Haber, yang kemudian berkolaborasi dengan Bosch, sukses menemukan cara paling efektif membuat amoniak sintesis, salah satu bentuk nitrogen terfiksasi yang kemudian bisa diolah menjadi pupuk.

                                          Keberhasilan ini membawa mereka berdua pada kekayaan dan kemashuran. Haber, yang pada dasarnya memang akademisi, memperoleh tempat terhormat di dunia pendidikan Jerman, di kalangan birokrat, selain juga gaji yang sangat besar dari BASF, perusahaan yang mendanai riset-riset dan mempatenkan penemuan-penemuannya. Sedangkan Bosch, yang sangat menggemari metalurgi dan ilmu rekayasa, mendapat kepercayaan besar dari BASF membangun pabrik amoniak di Oppau, pabrik dengan ukuran raksasa, dengan alat-alat yang belum pernah ada sebelumnya, dengan oven-oven bertemperatur super panas dan bertekanan sangat tinggi. Banyak orang meragukan keberhasilan Bosch membangun sebuah pabrik untuk memproduksi amoniak dalam skala besar. Namun, dengan kegigihan, kemampuan memecahkan masalah dan cara berpikir kreatif yang luar biasa, Bosch bisa menyulap mesin karya Haber yang tadinya hanya sebesar meja menjadi sebuah pabrik sebesar kota.

                                          Kiprah Haber dan Bosch selanjutnya berjalan ke arah yang berbeda. Haber lebih fokus pada upayanya meraih pengakuan dari bangsa dan negaranya, karena sebagai Yahudi, ia kerap dipandang sebagai warga kelas dua sekalipun karya dan jasanya sangat besar. Bosch, fokus pada ekspansi pabrik-pabriknya, menciptakan formula-formula baru untuk memaksimalkan keuntungan pabrik-pabriknya. Pecahnya Perang Dunia I menjadi titik balik bagi kedua tokoh ini. Haber, demi menarik simpati Kekaisaran Jerman, mempelopori penggunaan senjata kimia pertama. Sebuah temuan yang mungkin kelak disesalinya karena sejarah lebih mengingatnya sebagai seorang monster ketimbang pahlawan.  Sedangkan Bosch, di kemudian hari menderita depresi akut yang salah satunya dipicu oleh meledaknya pabrik kebanggaannya di Oppau. Kedua tokoh besar ini, sayangnya, akhirnya meninggal dalam kondisi menyedihkan. Jauh dari kemashuran dan penghormatan yang seharusnya mereka terima.

                                          Yang sangat menarik dari buku ini adalah bagaimana proses penemuan Haber dan Bosch diceritakan dengan detail. Bahwa ternyata ilmu kimia adalah ilmu dengan kemungkinan yang tak terbatas. Begitu banyak inovasi dan produk-produk baru yang bisa dihasilkan dari bidang satu ini. Keduanya mengajarkan kita untuk tidak pernah puas, selalu mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru, baik dalam bisnis maupun ilmu. Bosch, misalnya, memiliki kemampuan sangat baik mengevaluasi kesalahan dan menemukan cara-cara baru yang lebih efektif dalam sebuah proses produksi. Ia juga pandai membaca pasar lalu menggelontorkan produk untuk memenuhi pasar tersebut. Salah satu inovasinya yang membuatnya dihadiahi penghargaan Nobel adalah penyempurnaan pembuatan bensin sintesis yang ia buat dari batubara.

                                          Buku ini juga menceritakan kehidupan pribadi Haber dan Bosch dan bagaimana mereka mencapai puncak karir sekaligus keruntuhannya.

                                          Kedua tokoh ini mungkin tidak terlalu dikenal dalam sejarah. Dibandingkan dengan Albert Einstein atau Thomas Alva Edison, misalnya. Padahal, penemuan mereka mungkin bisa dibilang adalah penemuan terpenting dalam sejarah manusia. Berkat Haber-Bosch, miliaran manusia bisa terpenuhi kebutuhan pangannya, walaupun karena mereka pula jutaan manusia terbunuh akibat bahan peledak yang dikembangkan dari penemuan mereka.
                                          Bagaimanapun juga, buku ini memang sangat layak baca. Sangat inspiratif, terutama bagi mereka yang bergerak dibidang industri kimia.  (jay)