Sabtu, 22 November 2014

10 Manipulasi Oleh Media

Tulisan ini jelas bukan barang baru, bahkan mungkin ketinggalan dari banyak orang..

Kebetulan saja menemukan teorinya Noam Chomsky tentang manipulasi media ini.. dan kemudian mencoba membandingkannya dengan kondisi media di negara kita, terutama dalam beberapa tahun terakhir, dimana begitu banyak informasi yang tidak jelas sumbernya dan beredar melalui kanal-kanal yang juga meragukan kredibilitasnya. Sedihnya, berita-berita yang ‘gak jelas’ dan cenderung provokatif serta sama sekali tidak menyentuh substansi justru malah makin marak bermunculan di media mainstream kita, utamanya TV. Termasuk tentunya berita infotainment, siaran langsung pernikahan artis seharian penuh, pertengkaran elit politik, soal tato menteri, dan seterusnya.. mayoritas malah membuat publik melupakan substansi masalah yang sebenarnya.
Inti dari strategi manipulasi melalui media ini adalah mendorong proses pembodohan, menciptakan rasa bersalah, membuat pengalihan isyu dan menciptakan sebuah masalah yang artifisial sekaligus menawarkan solusinya
Ini dia, menurut Noam Chomsky, strategi-strategi manipulasi dengan menggunakan media yang sering digunakan untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari agenda tersembunyi. Yang jadi pertanyaan besarnya adalah, siapa sebenarnya pelakunya? Pemerintah? Atau tangan-tangan lain yang punya banyak kepentingan di negeri ini?
    1. Strategi Pengalihan Isu (distraction)
      Ini adalah komponen utama dari kontrol sosial. Caranya adalah dengan melemparkan sebuah isu untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah besar atau dari gerakan tertentu dengan membanjiri masyarakat dengan informasi dan berita-berita yang sebenarnya tidak penting.

        2. Menciptakan masalah dan menawarkan solusinya
          Disebut juga sebagai metode ‘problem-reaction-solution’. Melalui taktik ini, sebuah masalah akan ‘dilemparkan’ ke masyarakat untuk memicu reaksi tertentu. Bisa dalam bentuk sebuah krisis, atau bahkan menciptakan kerusuhan. Misalnya saja (misalnya lho!), bila kita ingin menghapuskan penjualan minuman keras, rekayasa saja sebuah kerusuhan besar yang pemicunya adalah segerombolan pemuda mabuk. Masyarakat akan mengutuk para peminum dan penjual alkohol, dan kemudian pemerintah dapat menawarkan solusi berupa pelarangan penjualan minuman beralkohol.

            3. Strategi Gradual
              Bila sebuah paham atau kebijakan dipandang akan sulit diterima masyarakat, maka harus diterapkan secara gradual dan perlahan-lahan. Taktik ini digunakan saat menerapkan hal-hal seperti privatisasi, liberalisme, dan lain-lain.

                4. Strategi Penundaan
                  Ini biasanya digunakan untuk menerapkan kebijakan yang tidak populer. Caranya adalah dengan bahwa alaupun kebijakan tersebut menyakitkan, tapi sangat perlu karena bisa menciptakan masalah yang sangat besar di kemudian hari. Contoh paling mudah, mungkin adalah tentang kenaikan BBM yang sangat memberatkan APBN.

                    5. Menganggap masyarakat sebagai anak kecil
                      Masyarakat harus diperlakukan seperti anak kecil. Suguhi terus mereka dengan informasi dan materi hiburan yang tidak menggugah intelektualitas mereka. Banyak iklan di TV pun menggunakan gaya bahasa dan intonasi seperti berbicara pada anak-anak. Dengan demikian, masyarakat dihambat untuk dapat berpikir kritis, selalu merasa sebagai pihak yang lemah, bodoh dan perlu selalu dilindungi.

                        6. Buat masyarakat cuek dan tetap terbelakang
                          Kualitas pendidikan untuk masyarakat kelas bawah harus dibuat seburuk mungkin, sehingga masyarakat menjadi cuek (ignorant) dan tetap rata-rata atau biasa-biasa saja (medioker) serta gagap teknologi sehingga gap dengan masyarakat kelas atas makin jauh.

                            7. Mendorong masyarakat untuk menerima kondisi terbelakang
                              Media didorong untuk menciptakan pemahaman bahwa ‘biasa-biasa aja, cuek dan tidak berpendidikan itu keren’.

                                8. Memanfaatkan sisi emosional
                                  Isi media cenderung mengeksploitasi emosi. Dengan memancing emosi masyarakat, maka sisi rasional mereka akan terkesampingkan sehingga lebih mudah untuk menanamkan agenda tertentu.

                                    9. Membangkitkan rasa bersalah (self-guilt)
                                      Mendorong masyarakat untuk merasa bahwa segala kekurangan yang ada sekarang ini adalah dikarenakan kesalahan mereka sendiri, karena mereka kurang berusaha, kurang pintar, dan lain-lain.

                                        10. Mengenali masyarakat lebih daripada mereka mengenali dirinya sendiri
                                          Berkat kemajuan teknologi, para pengambil kebijakan bisa mengenal dan mengidentifikasi individu-individu mungkin lebih baik daripada individu itu sendiri. Akibatnya, mereka memiliki kemampuan dan kekuasaan untuk mengendalikan publik di luar kesadaran publik itu sendiri.

                                          Kalau melihat taktik manipulasi menurut Noam Chomsky, rasanya sih banyak kemiripan dengan yang terjadi di negara kita sejak dulu. Intinya, mari mulai menyimak media massa, sosial media maupun informasi yang masuk secara lebih bijak. Jangan mau kita dijadikan bahan eksperimen oleh ‘tangan-tangan tak terlihat’ yang punya kepentingan terhadap kita. Setuju? (jay)

                                          Tulisan ini disadur dan diterjemahkan bebas dari noam-chomski.tumblr.com

                                          The Alchemy Of Air : kisah dua jenius yang berani berpikir besar...

                                          Semuanya bermula dari ramalan Sir William Crookes di tahun 1898 tentang kiamat. Ratusan juta manusia tidak akan dapat bertahan hidup karena kekurangan pangan. Ketika itu, teknologi pertanian bisa dibilang telah mencapai puncaknya, sedangkan pasokan pupuk dari Amerika Selatan terus menipis. Bila komunitas ilmuwan tidak melakukan sesuatu, tamatlah riwayat manusia karena kelaparan.

                                          Pernyataan Crookes itu memicu para ilmuwan berlomba mencari solusi untuk meningkatkan produksi pangan yang, menurut Crookes, jawabannya terletak pada menemukan cara menghasilkan nitrogen terfiksasi. Nitrogen ada dimana-mana, dan dibutuhkan semua makhluk hidup. Tapi ia harus berada dalam keadaan terfiksasi agar bisa dimanfaatkan oleh manusia maupun tanaman.

                                          Setelah melalui berbagai metode, intrik, konflik, dan ribuan kegagalan, tersebutlah Fritz Haber, seorang ahli kimia jenius Yahudi-Jerman yang berhasil menemukan cara membuat nitrogen terfiksasi dalam wujud amoniak sintesis. Haber,yang  di kemudian hari meraih hadiah Nobel atas perannya menciptakan amoniak sintesis, bekerja sama dengan insinyur brilian, Carl Bosch, untuk memproduksi amoniak tersebut dalam skala industri. Penemuan mereka, yang kemudian disebut proses Haber-Bosch, berhasil mematahkan ramalan Crookes, menyelamatkan miliaran nyawa sekaligus membunuh jutaan manusia.

                                          Buku The Alchemy of Air ini sebenarnya adalah adalah buku ilmiah-sejarah, namun diceritakan dengan gaya naratif yang sangat mengalir, dengan bahasa ringan, sehingga terasa seperti membaca sebuah novel. Untuk memberi gambaran tentang betapa besarnya peran nitrogen – dalam bentuk pupuk – bagi kehidupan manusia di dunia, penulis memulai dengan menceritakan sejarah Perang Guano di Peru. Bagaimana pecahnya perang di Amerika Selatan karena memperebutkan Kepulauan Chincha, sebuah kepulauan dengan cadangan guano terbesar di dunia(kotoran burung) yang pada tahun 1870an dikenal sebagai pupuk nomor wahid di dunia. Negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat bergantung sepenuhnya pada pasokan guano dari Peru untuk memupuk ladang-ladang mereka.

                                          Menipisnya persediaan guano, membuat para pengusaha dan ilmuwan mencari sumber pupuk terbaik lainnya. Sumber nitrat yang sangat besar ditemukan di Gurun Atacama, Peru. Gurun inipun menjadi sumber emas baru, sekaligus sumber konflik yang akhirnya memicu terjadinya perang antara Peru dan Chili.
                                          Sementara itu, di Jerman, negara dengan sumber daya alam sangat terbatas dan sangat bergantung pada pasokan guano maupun nitrat dari Amerika Selatan untuk pertanian dan militernya, para ilmuwan bertanding menjawab tantangan Crookes. Fritz Haber, yang kemudian berkolaborasi dengan Bosch, sukses menemukan cara paling efektif membuat amoniak sintesis, salah satu bentuk nitrogen terfiksasi yang kemudian bisa diolah menjadi pupuk.

                                          Keberhasilan ini membawa mereka berdua pada kekayaan dan kemashuran. Haber, yang pada dasarnya memang akademisi, memperoleh tempat terhormat di dunia pendidikan Jerman, di kalangan birokrat, selain juga gaji yang sangat besar dari BASF, perusahaan yang mendanai riset-riset dan mempatenkan penemuan-penemuannya. Sedangkan Bosch, yang sangat menggemari metalurgi dan ilmu rekayasa, mendapat kepercayaan besar dari BASF membangun pabrik amoniak di Oppau, pabrik dengan ukuran raksasa, dengan alat-alat yang belum pernah ada sebelumnya, dengan oven-oven bertemperatur super panas dan bertekanan sangat tinggi. Banyak orang meragukan keberhasilan Bosch membangun sebuah pabrik untuk memproduksi amoniak dalam skala besar. Namun, dengan kegigihan, kemampuan memecahkan masalah dan cara berpikir kreatif yang luar biasa, Bosch bisa menyulap mesin karya Haber yang tadinya hanya sebesar meja menjadi sebuah pabrik sebesar kota.

                                          Kiprah Haber dan Bosch selanjutnya berjalan ke arah yang berbeda. Haber lebih fokus pada upayanya meraih pengakuan dari bangsa dan negaranya, karena sebagai Yahudi, ia kerap dipandang sebagai warga kelas dua sekalipun karya dan jasanya sangat besar. Bosch, fokus pada ekspansi pabrik-pabriknya, menciptakan formula-formula baru untuk memaksimalkan keuntungan pabrik-pabriknya. Pecahnya Perang Dunia I menjadi titik balik bagi kedua tokoh ini. Haber, demi menarik simpati Kekaisaran Jerman, mempelopori penggunaan senjata kimia pertama. Sebuah temuan yang mungkin kelak disesalinya karena sejarah lebih mengingatnya sebagai seorang monster ketimbang pahlawan.  Sedangkan Bosch, di kemudian hari menderita depresi akut yang salah satunya dipicu oleh meledaknya pabrik kebanggaannya di Oppau. Kedua tokoh besar ini, sayangnya, akhirnya meninggal dalam kondisi menyedihkan. Jauh dari kemashuran dan penghormatan yang seharusnya mereka terima.

                                          Yang sangat menarik dari buku ini adalah bagaimana proses penemuan Haber dan Bosch diceritakan dengan detail. Bahwa ternyata ilmu kimia adalah ilmu dengan kemungkinan yang tak terbatas. Begitu banyak inovasi dan produk-produk baru yang bisa dihasilkan dari bidang satu ini. Keduanya mengajarkan kita untuk tidak pernah puas, selalu mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru, baik dalam bisnis maupun ilmu. Bosch, misalnya, memiliki kemampuan sangat baik mengevaluasi kesalahan dan menemukan cara-cara baru yang lebih efektif dalam sebuah proses produksi. Ia juga pandai membaca pasar lalu menggelontorkan produk untuk memenuhi pasar tersebut. Salah satu inovasinya yang membuatnya dihadiahi penghargaan Nobel adalah penyempurnaan pembuatan bensin sintesis yang ia buat dari batubara.

                                          Buku ini juga menceritakan kehidupan pribadi Haber dan Bosch dan bagaimana mereka mencapai puncak karir sekaligus keruntuhannya.

                                          Kedua tokoh ini mungkin tidak terlalu dikenal dalam sejarah. Dibandingkan dengan Albert Einstein atau Thomas Alva Edison, misalnya. Padahal, penemuan mereka mungkin bisa dibilang adalah penemuan terpenting dalam sejarah manusia. Berkat Haber-Bosch, miliaran manusia bisa terpenuhi kebutuhan pangannya, walaupun karena mereka pula jutaan manusia terbunuh akibat bahan peledak yang dikembangkan dari penemuan mereka.
                                          Bagaimanapun juga, buku ini memang sangat layak baca. Sangat inspiratif, terutama bagi mereka yang bergerak dibidang industri kimia.  (jay)


                                          Kamis, 07 Februari 2013

                                          Shock Doctrine




                                          Tanpa bermaksud lebay, bisa jadi ini adalah salah satu buku yang paling serem yang pernah saya baca….

                                          Shock Doctrine karangan Naomi Klein ini membahas soal kapitalisme, free market dan disaster capitalism serta doktrin-doktrinnya Milton Friedman, si ‘gegedug’ free market.

                                          Bab pembuka buku ini cukup bikin merinding. Tentang metode electro-shock yang digunakan di rumah sakit jiwa untuk mengobati pasien-pasiennya. Metode ini berprinsip bahwa supaya orang gila bisa sembuh, maka pikirannya harus dibikin kosong dulu, untuk kemudian ‘diisi’ lagi. Cara mengosongkan pikiran itu dengan berbagai penyiksaan dan penumpulan indra. Misalnya, disetrum, diikat sampai diisolasi dalam ruang gelap dan kedap suara. Deskripsi yang disampaikan si Klein ini emang serem abis... metode ini kemudian juga digunakan CIA dan tentara untuk menginterogasi tawanan perang... Nah, metode ini juga kemudian menjadi dasar dari teori yang oleh Naomi Klein disebut Shock Doctrine.

                                          Shock Doctrine itu maksudnya adalah bagaimana para kapitalis memanfaatkan kondisi ‘shock’ yang dialami suatu negara atau society untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Banyak contoh kasus yang disajikan dan, terus terang, sebagian memang bisa bikin kita sedih, takjub dan bahkan, marah. Shock yang dimaksud ini banyak bentuknya.. bisa bencana alam, perang, kondisi politik atau sekedar pengalihan isyu-isyu.

                                          Buku ini juga banyak ‘menyerang’ Milton Friedman dan paham ekonomi-nya yang diterapkan di University of Chicago (dan melahirkan apa yang disebut ‘Chicago Boys’). Menurut si Friedman nih, ekonomi itu harus dibiarkan bergerak sendiri, sebebas-bebasnya, tanpa campur tangan pemerintah sama sekali. Cuma dengan cara itu bisa dicapai yang namanya kesejahteraan dan kestabilan ekonomi. Kalo ada kekacauan, biarin aja, karena pasar yang akan menentukan dan kemudian memperbaiki dirinya sendiri.. (maap kalo salah, tapi kurang lebih itulah yang saya tangkep...).

                                          Friedman juga berprinsip, bahwa negara itu makmur kalo ekonominya dibiarin bebas dan pemerintah ga banyak ngatur. Ada tiga prinsip utamanya, yaitu privatisasi, deregulasi dan kurangi public spending alias anggaran pemerintah buat subsidi. Pada awalnya, menurut Friedman, rakyat memang akan sengsara, tapi lama-lama prinsip free market akan berlaku, ekonomi akan pulih dengan sendirinya dan akhirnya semua orang akan sejahtera. Kenyataannya? Seperti diungkap di buku ini, yang tajir tambah makmur, yang miskin tambah ancur.... prinsip ini juga sering dipakai oleh IMF dan World Bank buat ‘membantu’ negara yang lagi kesusahan...

                                          Salah satu contoh kasus di buku ini adalah perekonomian Amerika Selatan sekitar tahun 60-70an, khususnya Chili. Dimana Friedman mengirim anak didiknya (yang disebut Chicago Boys) untuk menerapkan teori gila-nya disana. Sayangnya, kondisi Chili yang makmur dan segala macemnya disubsidi pemerintah menyulitkan penerapan teori itu. Maka, diaturlah itu kudeta yang akhirnya mengangkat Augusto Pinochet jadi pemimpin. Sistem diktator ini memudahkan penerapan policy-policy yang sesuai dengan keinginan para kapitalis. Maka diacak-acaklah itu perekonomian Chili dengan tiga prinsip tadi : Privatisasi, Deregulasi, Potong Subsidi. Perusahaan asing banyak yang masuk dan mengeruk keuntungan, tapi sedikit sekali yang dinikmati rakyat Chili. Hebatnya, dari statistik yang dipakai Bank Dunia, Chili dianggap sebagai salah satu keajaiban ekonomi dunia, padahal it came with the cost of million lives yang hilang dan disiksa regim Pinochet. Kenapa perlu ada penyiksaan aktivis segala? Ya untuk membikin kondisi shock itu... rakyat dibikin bingung, panik dan ketakutan sehingga dalam suasana serba kacau itu, akan lebih mudah untuk mengimplementasikan kebijakan ekonomi yang menguntungkan para kapitalis.

                                          Mungkin yang bisa bikin ‘bangga’ adalah Indonesia juga masuk dijadikan contoh dibuku ini, yaitu metode-nya Soeharto yang kurang lebih mirip sama Pinochet. Bedanya, kalo Pinochet didukung Univ Chicago, Soeharto dibantu oleh Berkeley Mafia yang terkenal itu.

                                          Ada bab yang membahas tentang upaya Margaret Thatcher untuk menerapkan sistem free-market ini di Inggris. Karena Inggris punya serikat buruh yang kuat, maka dia bikin perang Malvinas (atau Faulkland War) sama Argentina. Isyupun beralih, dan dengan tingkat popularitasnya yang tinggi akibat perang itu, dengan mudah Thatcher membabat serikat-serikat pekerja dan meng-apply kebijakan ekonomi baru.

                                          Selain itu, ada bab yang membahas soal krisis ekonomi yang sengaja diciptakan agar perusahaan multinasional bisa ‘masuk’ ke negara yang punya banyak aturan. Metode ini dipakai di Rusia, Polandia dan termasuk Asia Tenggara (krisis 1998, ingat?). Rusia dan Polandia sengaja dibiarin sengsara oleh negara Barat. Ketika mereka udah dalam keadaan pasrah, shock, sengsara...pokoknya ancurlah.. barulah mereka masuk (kadang via IMF) untuk menawarkan ‘bantuan’. Karena kondisinya yang udah demikian parah, negara-negara itu mau gak mau harus menerima bantuan beserta ‘resep’ dan syarat-syaratnya, yaitu... ya aplikasi free-market itu tadi. Kondisi yang sama, juga dialami negara kita yang kemudian akhirnya memicu turunnya Soeharto dan aksi reformasi yang terkenal itu lah....

                                          Kita juga terus diperkenalkan sama Disaster Capitalism Complex. Ini adalah bagaimana memanfaatkan bencana alam untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Badai Katrina, tsunami di Sri Lanka, sampai 9/11 adalah contoh-contoh yang diceritakan Naomi Klein. Sejak lama memang si Friedman ini mau menerapkan teorinya di negara asalnya sendiri, Amerika, tapi gagal maning gagal maning. Rentetan bencana dan aksi terorisme ini kemudian memudahkan langkahnya, termasuk tentunya karena ada presiden Bush yang didampingi pejabat oportunis macam Rumsfeld dan Cheney. Dari mana ambil untungnya? Ya pemerintah AS dibawah Bush emang senang banget melakukan yang disebut outsourcing. Banyak tugas pemerintah yang diserahkan ke kontraktor-kontraktor. Termasuk ketika mereka melakukan rekonstruksi, semuanya di-outsource ke kontraktor yang tentunya mengeruk keuntungan besar dari proyek-proyek itu. Hal yang sama berlaku juga di angkatan bersenjata, dimana banyak tugas tentara dialihkan ke kontraktor. Hebatnya, banyak kebijakan diambil in the midst of disasters, saat orang-orang lagi pada shock, jadi ya ga ada yang peduli juga karena boro-boro mikir yang begituan, mau cari tempat tidur aja susah?! Gitu lah intinya...

                                          Salah satu yang paling seru adalah bab yang membahas soal Irak. Kentara sekali bahwa Bush (yang dicekokin sama Rumsfeld dan Cheney) emang ga ngerti apa-apa soal Irak. Perang Irak adalah contoh paling sempurna dari teori Shock Therapy. Teorinya sih, setelah digempur habis-habisan hingga rakyat Irak takjub, takut dan panik, pasukan Amrik akan masuk untuk membabat semua ‘akar’ budaya orang Irak. Museum dirusak, perpustakaan dibakar, dan lain-lain. Pemutusan hubungan dengan ‘akar budaya’ ini penting, karena membuat orang jadi kehilangan identitasnya (seperti yang diterapkan Pinochet dan Soeharto, dimana banyak aktivis seni yang dibantai atau hilang tanpa jejak, at least, menurut buku ini lho). Saat itulah kemudian kapitalis masuk, dengan membawa berbagai produk khas Amrik, such as McDonalds, Coke, etc. Parahnya lagi, semua pegawai negeri di Irak juga dipecat, juga pegawai BUMN-nya, dan kemudian di-outsource ke perusahaan Amerika, seperti Halliburton atau Lockheed. Bahkan, tenaga tentara juga di-outsource ke perusahaan Amerika. Orang Irak yang berharap keadaan akan jadi lebih baik setelah Saddam disingkirkan, Cuma bisa bengong ketika pabrik tempat mereka kerja ’diambil’ orang asing yang entah dari mana asalnya. Mereka Cuma harus jadi pembeli nan konsumtif dari gelombang produk baru yang masuk ke Irak. Akibatnya, banyak pengangguran dan tentunya ikut memicu aksi terorisme karena banyak orang yang ga suka dengan kebijakan ini (to see how messed up Iraq is, go watch the movie ‘Hurt Locker’.. keren). Intinya, pemerintah Amrik sama sekali ga memikirkan faktor pendekatan kultural dalam mengatasi masalah Irak, dan akibatnya, masalah disana ga kelar kelar.. ini kata Naomi Klein lho!

                                          Di bab-bab akhir, buku ini banyak membahas soal siapa aja yang mengambil keuntungan dari segala musibah, bencana alam, perang dan kekacauan politik. Terbentuklah apa yang disebut gate community, yaitu segelintir orang yang sama sekali tidak terpengaruh pasar, saking tajirnya. Ada juga kritik terhadap kebijakan IMF, Bank Dunia, korporasi Amerika dan sebagainya lah....

                                          Overall, buku ini sangat menarik buat saya. Keren pisan lah. Apalagi kalo anda suka teori konspirasi dan pemerhati ekonomi makro. Dari sejumlah review, banyak juga sih kritikus yang bilang kalo buku Klein ini Cuma ngepas-pasin kondisi yang ada supaya sesuai dengan teori dan agendanya dia yang emang pengen nyerang ajaran Friedman. Tapi saya sih ga peduli, yang penting bukunya bagus dan seru.

                                          Terus, kenapa buku ini jadi serem? Karena apa yang diceritakan sangat familiar buat saya.... mudah-mudahan juga, jangan sampe terjadi di negara kita ini (if it’s not already...)

                                           Note : review ini sebenarnya sudah dibuat sejak 2010...direpost, daripada hilang.. :)

                                          Jumat, 12 Oktober 2012

                                          "Brand Failure : The Truth About 100 biggest Branding Mistakes of All Time".. resensi buku




                                          Ford Pinto adalah salah satu produk Ford yang paling sukses, kecuali di Brazil... karena ternyata, di Brazil, Pinto berarti “penis kecil”....

                                          Setiap hari, ribuan perusahaan di seluruh dunia melahirkan ribuan brand baru. Ada yang bertahan lama, ada Cuma berumur sekejap. Brand sendiri kini diartikan lebih dari Cuma sekedar nama produk atau logo. Brand adalah sesuatu yang menghubungkan sebuah organisasi atau perusahaan dengan konsumennya. Brand yang dikelola dengan baik tentunya akan memiliki nilai dan popularitas yang sangat tinggi. Tapi ada juga kesalahan fatal yang dibuat para manajer saat mengelola brand sehingga brand tersebut hancur lebur.
                                          Buku “Brand Failures” cukup menarik karena mengajak kita belajar dari kegagalan. Ada 100 kasus yang diangkat dalam buku ini untuk kita jadikan pelajaran saat mengelola brand yang kita miliki. Selain mendidik, buku ini cukup menghibur karena bahasanya ringan dan banyak kasus-kasus konyol yang diceritakan disini.

                                          Penyebab kegagalan brand ada enam, yaitu :
                                          • Brand amnesia, yaitu saat brand itu sendiri sudah melupakan akar dan identitasnya
                                          • Brand ego, yaitu ketika sebuah brand kelewat pede sehingga tidak mengukur kemampuannya sendiri dan tidak memperhatikan pesaingnya
                                          • Brand megalomaniac, yaitu ketika sebuah brand berekspansi ke semua produk yang jauh dari core-nya
                                          • Brand deception, yaitu saat sebuah brand mempromosikan diri secara berlebihan tapi lalu gagal memenuhi ekpektasi konsumennya
                                          • Brand fatigue, yaitu brand yang sudah jenuh, sudah tidak lagi kreatif
                                          • Brand paranoia, yaitu brand yang merasa takut berlebihan terhadap pesaingnya sehingga malah membuat langkah-langkah yang merugikan dirinya sendiri
                                          • Brand irrelevance, yaitu ketika sebuah brand sudah tidak lagi relevan dengan situasi dan kondisi pasar
                                          Buku karya Matt Haig ini membagi contoh-contoh kasus kegagalan brand dalam 10 kategori. Yang pertama adalah contoh kasus Klasik. Misalnya, kasus Coca Cola yang gagal total saat meluncurkan New Coke. Lalu kategori kedua adalah Idea failures, berisikan contoh-contoh brand yang sejak awal harusnya sudah bisa diprediksi gagal karena idenya sudah bodoh dari pertama. Misalnya saja, produk Thirsty Cat& Dog, yaitu produk air mineral khusus buat kucing dan anjing piaraan, atau Pepsi yang pernah meluncurkan produk Cola berwarna bening.

                                          Kategori berikutnya adalah Extension failure. Ini berisikan produk yang gagal karena berusaha memperluas brandnya tanpa perhitungan yang matang sehingga akhirnya malah merusak core-brand itu sendiri. Contoh kasusnya adalah Harley Davidson yang nekad meluncurkan parfum. Gara-gara parfum itu, produsen motor gede ini sempat ditinggal penggemarnya lantaran sudah dianggap kelewatan mengkomersilkan diri..lagipula mana ada anggota geng Hell Angel pake parfum tokh?! Contoh lainnya adalah perusahaan Virgin yang nekad beradu dengan Coca Cola dan Pepsi di pasar minuman Cola, ada juga majalah Cosmopolitan yang meluncurkan produk yoghurt dan celana dalam produksi Bic, brand yang selama ini lebih dikenal sebagai penghasil produk alat tulis.

                                          Ada juga brand yang gagal total karena PR (public relation)-nya yang tidak becus. Contoh paling spektakuler adalah Exxon yang tidak menangani kasus tumpahan minyak Exxon Valdes dengan baik. Ada juga kasus PanAm yang akhirnya bangkrut karena insiden meledaknya pesawat mereka akibat bom dan masih banyak lagi. Brand yang gagal karena tidak mendalami budaya juga banyak, seperti kasus Ford Pinto di atas. Mungkin sewaktu-waktu saya akan buat contoh-contoh kasus berdasarkan kategori dalam buku ini ya?

                                          Secara keseluruhan, sekali lagi, buku ini memang sangat menarik bukan saja buat mereka yang mendalami bidang marketing atau branding, tapi juga buat orang awam. Memang ternyata lebih seru belajar dari kegagalan ketimbang membaca success story yang isinya cenderung menyombongkan diri. Dalam setiap kasus, Haig juga akan membuat semacam kesimpulan singkat tentang pelajaran yang bisa dipetik dari kegagalan brand yang diceritakan disini.

                                          Overall, ini buku yang sangat menarik. Mendidik sekaligus menghibur dan tidak bikin pusing dengan gaya tulisan yang cukup ringan. (jay)

                                          Jumat, 13 Juli 2012

                                          Tidak Perlu Sekolah....?


                                          Sekolah itu tidak penting…… ?

                                          Tidak perlu sekolah tinggi-tinggi…Bill Gates, Steve Jobbs dan Mark Zuckerberg yang dropout saja bisa jadi orang maha kaya…
                                          Buat mereka yang masih menjadikan tiga orang itu sebagai patokan dan alasan untuk tidak bersekolah, saya tantang untuk tidak menyekolahkan anaknya sama sekali.



                                          Baru-baru ini saya baca artikel tentang kekhawatiran di Amerika Serikat, dimana banyak mahasiswa yang memilih berhenti belajar demi berbisnis dan jadi kaya seperti Bill Gates. Alasannya? Ya percuma sekolah, yang drop out saja bisa jadi milyuner…

                                          Saya pribadi sangat menyayangkan mereka yang berpikiran seperti ini. Memangnya kenapa kalo bersekolah? Percuma? Banyak yang bilang begitu…percuma dilanjutkan sekolah, tokh saat lulus nanti ilmunya tidak terpakai dan paling-paling Cuma jadi karyawan. Lebih baik jadi orang yang ‘street smart’, pintar dalam kehidupan yang sesungguhnya daripada Cuma pintar sebagai pelajar, jago bikin tugas dan paper tapi tidak bisa berbisnis atau jadi manajer yang baik.

                                          Well…tidak semua orang diberkahi bakat dan keberuntungan seperti Bill Gates kan?

                                          Sekolah, menurut saya, memang tidak bakal membuat anda jadi kaya raya, tapi juga tidak bakal membuat anda jadi orang sengsara. Untuk bisa sukses besar, tetap dibutuhkan banyak faktor; bakat, kerja keras, koneksi, jaringan dan sedikit keberuntungan. Banyak orang yang antipati terhadap sekolah karena dianggap mengungkung kreativitas, menyuburkan feodalisme, dan sebagainya lah.

                                          Untuk soal sekolah ini, saya tetap berpegangan pada salah satu buku favorit saya ; The Outliers, karyanya Malcolm Gladwell. Menurut si Malcolm, untuk seseorang bisa mencapai sukses luar biasa, dia harus bisa menempatkan dirinya, baik sengaja maupun tidak, dalam serangkaian kondisi yang mendukung ia bisa berhasil. Salah satu contoh yang diambil dalam buku itu memang Bill Gates. Okelah ia tidak lulus kuliah, tapi sepanjang hidupnya ia selalu berada dalam situasi yang menguntungkan. Salah satunya saat ia SMP atau SMA, sekolahnya adalah satu dari sedikit sekolah yang mempunyai perangkat komputer yang lengkap dan canggih. Gates remaja sering mencuri waktu untuk begadang di laboratorium sekolah, belajar tentang coding, programming dan lain sebagainya. Saat teman-teman lain pacaran atau keluyuran, Gates lebih suka mendalami komputer yang ketika itu mungkin masih dianggap sesuatu yang terlalu nerdy, aneh dan tidak menarik. Hasilnya? Gates punya ilmu komputer yang beberapa langkah lebih maju dibanding teman-temannya. Kisah ini, tampaknya sering dilupakan saat orang menjadikan Gates sebagai panutan. Yang diingatnya Cuma satu : Gates, tidak menyelesaikan kuliah dan karenanya jadi kaya…

                                          Orang seperti Gates itu, menurut saya adalah anomali, atau bahkan mitos. Sama halnya dengan Lionel Messi yang bertubuh kuntet tapi jago luar biasa atau Stevie Wonder yang buta tapi jago main piano… meskipun kita tidak suka, ya mau tidak mau harus diakui bahwa kita masih tinggal di dunia yang memiliki standar-standar baku untuk profesi ataupun kedudukan tertentu : Direktur harus lulusan perguruan tinggi, pemain basket harus tinggi, pemain bola harus kuat, dan pemain piano alangkah idealnya bila tidak buta…

                                          Sekolah, sekali lagi, memang tidak menjamin kesuksesan atau kekayaan. Ia hanyalah sebuah cara, sebuah metode dari ribuan pilihan agar orang bisa mencapai cita-citanya. Perumpamaannya begini ; saat anda lapar datanglah ke dapur. Di dapur, sudah tersedia segala macam bahan baku untuk ‘mengobati’ lapar. Tinggal pilihan anda mau melakukan apa. Masak mie instan? Telor ceplok? Atau bikin Beef Wellington ala Gordon Ramsay yang maha enak itu? Semuanya bisa mengganjal perut. Kemauan dan kepintaran anda mengolah bahan di dapur yang akan menentukan kualitas ‘obat lapar’ anda.

                                          Apakah Cuma dapur tempat menghilangkan lapar? Jelas tidak… kalau punya uang, anda bisa pergi ke rumah makan Padang. Kalau punya nenek yang pintar masak, anda tinggal pergi ke rumah nenek. Kalau anda nekad, anda bisa memalak jajanan milik anak-anak SD di dekat rumah… semuanya, sama-sama bisa menghilangkan lapar anda. Semuanya sama saja, tapi tetap…saat anda berada di rumah, dapur adalah pilihan paling mudah untuk mencari pengganjal perut.  

                                          Kalau sekolah formal memang bukan pilihan tetap saja anda harus ‘bersekolah’ tokh? Baca buku dan belajar dari orang tua, saudara, atau berusaha mengenal orang-orang yang bisa mengajari dan membantu anda mencapai tujuan, apakah itu untuk berbisnis ataupun mendalami profesi tertentu.

                                          Saat anda bersekolah, apapun tingkatannya, anda tidak Cuma mempelajari ilmu yang jadi major anda. Anda belajar struktur, anda belajar birokrasi, anda belajar menghadapi dosen-dosen nyentrik, anda belajar menuntaskan sebuah project. Yang lebih penting, anda belajar berkawan, menjalin networking dengan teman, dosen, dan mengenal serta mengambil suri tauladan dari orang-orang hebat yang anda temui selama di kampus. Syukur-syukur juga menemukan calon istri di kampus..hehehe… Kalau itu semua masih anda anggap tidak bermanfaat dalam kehidupan nyata, minimal sekolah atau kuliah, dijamin pasti akan membuka wawasan dan pola berpikir anda.

                                          Bahkan, sekarang ini mungkin sekolah adalah cara termudah, termurah dan paling masuk akan untuk anda bisa keliling dunia. Anda bisa tinggal di luar negeri berkat beasiswa, menjelajahi daerah antah berantah karena dapat dana riset, jadi selebriti karena sering diundang sebagai narasumber ahli dalam talkshow TV dan jadi kaya berkat menerbitkan buku.

                                          Lalu, apa semua sekolah sama saja? Kalau iya, kenapa banyak orang tua rela jumpalitan demi memasukkan anaknya ke sekolah yang ‘katanya’ favorit? Alasannya masih kurang lebih sama…dengan belajar di sekolah terbaik akan meningkatkan peluang anda atau anak anda untuk berada dalam kondisi yang ‘favourable’ seperti saya sebutkan tadi. Sekolah bagus pasti mempunyai fasilitas bagus. Anda akan berada di tengah orang-orang pintar dengan pola berpikir yang luas dan jiwa kompetitif yang akan mendorong anda untuk menjadi orang yang lebih baik. Memangnya Zuckerberg akan bisa sukses kalau tidak pernah mendapat ilham dari teman dan dosen-dosennya di Harvard?!

                                          Sayangnya, tidak semua orang punya akses ke pendidikan yang baik ini..tapi, lagi-lagi sekali lagi…sekolah kan memang bukan satu-satunya cara menuju sukses J

                                          Ada satu ungkapan yang bilang begini :
                                          “Guru yang baik itu tidak sekedar menunjukkan jalan kepada tujuan anda, tapi ia memperlihatkan pilihan-pilihan jalan yang bisa anda tempuh untuk mencapai tujuan anda”

                                          Tentunya setiap orang punya hak berpendapat. Adalah pilihan anda bila tidak mau bersekolah tinggi-tinggi karena ingin seperti Mark Zuckerberg. Tapi ingat, dari setiap satu orang Steve Jobs ada jutaan orang lain yang Steve Jobless..alias pengangguran dan tidak bisa mendapat penghidupan yang layak Cuma karena tidak punya latar belakang pendidikan yang memadai. Tiga orang yang saya sebut namanya dari tadi, jadi terkenal dan jadi sumber cerita yang tidak ada habisnya ya… karena mereka memang manusia istimewa : tidak lulus kuliah, tapi bisa sukses… orang sering lupa menyebutkan ribuan CEO atau milyuner yang bisa mencapai posisi mereka berkat pendidikan mereka yang tinggi. Tidak usah jauh-jauhlah, lihat saja BJ Habibie yang gelarnya bejibun dan sekolahnya banyak banget. Kenapa bukan beliau yang anda jadikan panutan buat anak-anak anda?

                                          Lagipula….tidak mungkin Microsoft bisa sehebat sekarang bila Gates tidak dibantu oleh orang-orang pintar yang dibekali berbagai teori bisnis yang didapatnya juga ya.. dari sekolah.  

                                          Saya sendiri berasal dari keluarga yang menunjung tinggi pentingnya pendidikan. Kami mungkin bukan dan tidak akan pernah jadi orang kaya raya seperti Mark Zuckerberg. Tapi paling tidak, saya dan keluarga pun insyaallah masih bisa hidup berkecukupan berbekal ilmu yang didapat dari sekolah. Pendidikan saya, membawa saya menemui sahabat-sahabat yang luar biasa, memaksa saya membaca buku-buku yang mempesona dan mengenali banyaknya hal menakjubkan di dunia. Saya harap, semua anak di Indonesia bisa mengalami semua keajaiban dari pendidikan itu….

                                          Jadi.. masih berpikir tidak perlu sekolah?



                                           note: gambar diambil dari ffffound.com, tanpa ijin....

                                          Rabu, 29 Februari 2012

                                          Inspirasi Jeremy Lin

                                          It’s Linsanity!

                                          Ah, orang Amerika itu memang pinter sekali bikin ‘feel good story’..cerita kepahlawanan yang menyentuh, dan menginspirasi. Yang satu ini jadi perhatian saya karena saya mengikuti banget basket NBA. Namanya : Jeremy Lin, point guard dari New York Knicks.

                                          Semua media Amerika berebutan memajang tampang orang Taiwan-Amerika ini di-covernya. Terakhir, dia nongol di sampul majalah TIME, dan menjadi pebasket kedua dalam sejarah, setelah Michael Jordan yang muncul di cover Sport Illustrated dua kali berturut-turut. Lin juga memecahkan rekor Michael Jordan dan Shaquille O’neal sebagai pencetak skor terbanyak dalam sejarah NBA dalam 5 kali penampilan perdananya sebagai starter. Apa hebatnya?

                                          Lin kuliah di Harvard. Meskipun itu sekolah hebat, tapi jelas bukan sekolah yang punya tradisi basket. Bahkan, lulusan Harvard lebih banyak yang jadi presiden Amerika Serikat dibandingkan jadi pebasket profesional. Sudah tiga tahun Lin bermasuk masuk NBA, tapi nyaris tidak dapat kesempatan main. Kalaupun dapat giliran, paling-paling Cuma 5 sampai 10 menit. Garbage time istilahnya. Tapi Lin tidak menyerah, ia tetap rajin latihan sambil menunggu kesempatan. Sampai tibalah saatnya pelatih New York Knicks kehabisan pemain, dan terpaksa menjadikan Lin starter. Hasilnya ya semua sudah tau...

                                          Tidak ada yang menyangka kalo Lin ini ternyata sedemikian hebat. Dalam basket, ada istilah ‘in the zone’ atau ‘on fire’, ada semacam mekanisme dalam tubuh seorang pemain yang membuat dia mendadak jadi hebat dalam satu pertandingan. Semua tembakannya masuk, semua yang dilakukan bener-bener sempurna deh pokoknya. Waktu Jeremy Lin berhasil mempecudangi Kobe Bryant dengan mencetak 38 poin saat New York mengalahkan Lakers, banyak yang bilang itu Cuma kebetulan...kebetulan aja si Lin lagi ‘on fire’..tapi ternyata ga Cuma disatu pertandingan itu aja...sejak ditunjuk jadi starter dadakan, Knicks tidak pernah kalah 7 pertandingan berturut-turut.

                                          Pernah nonton film Any Given Sunday? Itu film tentang american football, inti ceritanya tentang seorang quarter back lapis ketiga, yang baru dapat kesempatan main gara-gara dua quarterback utama timnya cidera. Ternyata eh ternyata, dia ini jago banget! Dan timnya menang terus sejak dia jadi starter. Lin ini ceritanya mirip sekali...

                                          Saya ga akan berpanjang lebar cerita tentang Jeremy Lin lah, semua media termasuk di Indonesia udah keseringan membahas si Jeremy Lin ini. Yang saya permasalahkan, kenapa kita ga bisa menemukan cerita seperti ini di Indonesia? Jeremy Lin ini bisa dibilang sebenernya adalah selebriti instan. Bedanya dengan selebriti instan di Indonesia, cerita tentang kerja keras dan kegigihannya sangat menonjol dan diangkat terus oleh media... hard work and perseverance adalah tema dari kegemilangan Jeremy Lin baik di lapangan maupun di media massa....bukan sekedar sensasi karena melakukan hal aneh di TV atau internet

                                          Lin dikenal sebagai pekerja keras, tidak mudah menyerah, dan selalu menghormati senior-seniornya di NBA. Dengan gajinya yang kecil sebagai pemain ia bahkan tidak punya cukup uang untuk menyewa apartemen sendiri. Selama bermain untuk New York Knicks, ia numpang tidur di sofa kakaknya. Yang membuat dia makin sensasional, ia adalah orang Taiwan, yang notabene sama sekali ga punya sejarah bagus di dunia olahraga profesional, apalagi basket NBA.

                                          Cerita macam begini memang luar biasa, cocok banget buat dibikin film, sayangnya kok saya jarang mendengar kisah begini di Indonesia, setidaknya lewat media massa konvensional kita (TV, koran). Semua lebih sibuk gembar gembor berita politik, korupsi, skandal, kerusuhan sampai perkosaan. Coba dipikir, apa ga tambah bebal otak orang-orang yang nonton? Lama-lama kita semua jadi mati rasa melihat kekacauan disekeliling kita. Media, terutama tV, nyaris ga pernah menyiarkan materi yang layak dijadikan motivasi, inspirasi atapun teladan. Memang ada acara TV bagus seperti Kick Andy, misalnya. Tapi berapa orang sih yang nonton? Kalaupun ada kisah-kisah inspiratif, saya Cuma dapat dari link di twitter atau facebook. Berapa besar frekuensinya sehingga cukup untuk mempengaruhi orang? Bandingkan dengan si Olga yang sukses membuat banyak ABG lelaki ingin jadi bencong biar terkenal dan banyak duit?!

                                          Belakangan, ada dua tokoh yang menurut saya cukup menyegarkan isi media kita ; Dahlan Iskan dan Joko Widodo. Rasanya sejuk setiap membaca berita dari dua orang itu. Alhamdulillah masih ada orang ‘bener’ di negara ini, terlepas dari seperti apa sesungguhnya kepribadian beliau berdua, tapi paling tidak layaklah dijadikan teladan. Sayangnya, sekali lagi, mereka tampil Cuma di media yang ‘berat’, yang pembacanya adalah orang yang mungkin gak perlu lagi diajari atau diberi motivasi. Coba dong, bikin sinetron yang mengajarkan kita untuk kerja keras? Atau bikin gosip tentang artis yang memang perjuangannya luar biasa, ga Cuma terkenal mendadak gara-gara youtube atau jambul?

                                          Seorang teman yang kerja di TV pernah bilang tentang keprihatinannya meliat alay-alay yang tiap pagi menari bak robot di acara TV yang dipandu bencong-bencong itu... mereka memang melihat bahwa cara memperbaiki kehidupan mereka adalah dengan menjadi terkenal, masuk TV dan dapat uang dengan mudah.. even if it means harus jadi bencong...

                                          Coba teman-teman di TV...beneran anak muda seperti itu yang pengen kalian bentuk?!

                                          Coba dong, carikan saya Jeremy Lin versi Indonesia....

                                          Selasa, 28 Februari 2012

                                          Men Are Pigs

                                          Men are Pigs

                                          Yes..it is scientifically proven...
                                          Semua laki-laki memang babi... bukan Cuma karena DNA babi dan manusia itu nyaris sama, tapi juga dari segi kelakuan...

                                          Saya pernah baca artikel di majalah TIME, tentang kenapa banyak laki-laki hebat yang kejeblos gara-gara skandal seksual; Bill Clinton, terus itu si gubernur IMF Strauss-Kahn itu lah... Arnold Schwazzeneger, PM Italia, Tiger Wood..terus yang lokal juga banyak ; Aa Gym, terus Menteri siapa lah itu, Ariel Peterpan...dan masiiiih banyak lagi...

                                          Ternyata eh ternyata... seperti kata Sigmund Freud bahwa manusia itu sebenernya adalah sexual being, pemenuhan hasrat seksual (tidak selalu berarti ‘having sex’) memang menjadi semacam achievement puncak buat laki-laki. Pada saat semua prestasi sudah dicapai, uang udah banyak, jabatan sudah tinggi, apalagi yang dicari? Ya kebanyakan larinya ke semacam sexual conquer, penaklukan seksual..kebanggaan bisa menaklukan perempuan rupanya lebih tinggi daripada kepuasan meraih uang atau jabatan. Makanya, banyak pula yang tidak segan memamerkan selingkuhannya kepada rekan sejawat untuk menunjukan betapa powerful-nya dia. Yang penting, jangan ketauan istri, hehehe.. repotnya, banyak profesi yang memang meng-encourage perilaku seperti ini...saling menutupi kelakuan teman-temannya, apalagi kalo si lelaki ini memang masuk kategori boss atau penguasa. Dorongan untuk mengambil risiko besar pun jadi lumayan kuat...

                                          ini bukan pendapat saya lho yaaa...tapi hasil studi ilmiah, hehe

                                          With power, comes confidence, with confidence come opportunity....

                                          Kata Mark Held, seorang psikolog dari Amerika; “laki-laki itu cenderung bertindak berdasarkan kesempatan, dimana ada kesempatan pasti mereka akan memanfaatkan!”, katanya. Ia juga menambahkan, bahwa kenapa laki-laki sukses itu cenderung selingkuh, karena setelah semua kehebatan mereka itu, ternyata mereka masih butuh sexual entitlement. Perilaku ini akan lebih kental pada mereka yang berasal dari keluarga kaya, keluarga berada...semua kebutuhan mereka sejak kecil selalu dipenuhi, semua yang mereka mau pasti bisa didapat, dan ini akhirnya keterusan sampe mereka besar.

                                          Yang jelas, menurut ahli biologi, semakin sukses seseorang, maka justru kemampuan self restrain-nya memang makin berkurang. Bagi mereka, norma dan aturan sosial tidak berlaku buat mereka karena mereka adalah orang ‘hebat’...

                                          So..jangan heran ya kalo bakal ditemukan lebih banyak lagi skandal ‘pejabat’ di masa datang J